Musang dan Monyet
Nyenyet heran melihat Mumus sudah beberapa hari ini melamun. Monyet itu lalu melonat-loncat dari dahan ke dahan. Dia khawatir melihat sahabatnya seperti yang sakit.
“Mus... Mumus... Musang!”
Begitu biasanya Nyenyet memanggil bila tidak dihiraukan.
Mumus terkejut. Dia gelagapan
dan seperti mau melarikan diri. “Ngagetin aja,” katanya saat melihat Nyenyet
meloncat.
“Kamu melamun terus sudah
beberapa hari. Ada apa?” tanya Nyenyet.
“Aku tuh bingung dengan
manusia, Nyet. Sudah ada lagi saudaraku yang mati ditembak saat makan buah
kawung, buah enau itu,” kata Mumus.
“Manusia memang seperti itu
tabiatnya, jangan bersedih,” hibur Nyenyet.
“Tapi mereka kan tahu, bangsa
musanglah yang membantu budidaya pohon kawung alias enau alias nira itu. Karena
kami makan buahnya, bijinya tidak bisa dicerna, dan setelah dikeluarkan lagi,
jadilah pohon nira baru. Kamu tahu pohon nira buat apa?”
“Memangnya buat apa?” Nyenyet
jadi penasaran.
“Air nira itu diolah akan
menjagi gula merah. Gula merah yang harum, alami tanpa pengawet dan pewarna.
Ya, buat kesejahteraan mereka juga. Tapi saat bangsa musang makan buah nira
pada malam hari, bangsa manusia mengintip dan menembak.”
“Tinggalin saja bila begitu.
Biarin manusia jadi tidak bisa membuat gula merah nantinya!” kata Nyenyet ikut
kesal.
“Huss...! Nggak bisa gitu,
Kawan.”
“Kamu memang baik hati, Mus,”
kata Nyenyet lagi. “Gampang kalau begitu, saya punya ide!”
Musang yang murung itu
akhirnya tersenyum lebar.
Sorenya Mumus memetik buah
nira, memerasnya dan airnya disimpan di tempurung kelapa. Buah nira ini bila
terkena kulit akan gatal. Dan bila terus digaruk gatalnya itu akan menyebar dan
semakin menjadi. Tapi hebatnya bangsa musang, racun gatal di buah nira itu
tidak mempan ke kulitnya. Jadi dia bisa leluasa memeras buah nira.
Tempurung kelapa isi air nira
itu dibawa Nyenyet ke atas pohon. Betul saja, malamnya pemburu itu datang. Dia
mempersiapkan diri di bawah pohon. Senapan, lampu senter, golok, disimpa di
sebelahnya. Nanti bila dari pohon nira terdengar ada musang makan buahnya, maka
dia akan menyorotkan lampu senter biar musang silau dan tidak bisa melarikan
diri. Dor! Tinggal begitu, maka perburuan pun selesai.
Tapi sebelum itu terjadi,
Nyenyet menumpahkan air nira dari atas pohon. Tentu saja pemburu itu terkejut. Hanya
berselang beberapa menit, pemburu itu mulai merasakan gatal di kepala dan
lehernya, lalu punggungnya. Dan akhirnya dia berlari pulang sambil
berteriak-teriak: “Gatal... gattaalll... gattaall...!”
0 Response to "Musang dan Monyet"
Posting Komentar