AYAM KESEPULUH
Emak dan Bapak Ayam gelisah. Mereka mempunyai tujuh ekor anak yang masih kecil. Mereka tinggal di peternakan yang ditinggalkan pemiliknya. Kandang yang mereka tempati hampir roboh. Sepertinya terkena angin kencang sedikit saja kandang itu akan hancur.
Terpikir untuk
segera pindah ke gua kecil di tepi hutan. Sahabat mereka, keluarga ayam hutan,
mencarikan gua yang nyaman buat mereka. Masalahnya, di jalan pasti dicegat oleh
sepasang musang yang baru berkeluarga. Sudah sejak lama musang itu
mengintip-intip anak mereka.
“Tapi kalau kita
tidak segera pindah, kandang ini bisa roboh, dan anak-anak kita terlantar,”
kata Bapak Ayam. “Tentu kita tidak bisa melindungi semua anak dari sergapan
musang.”
Setelah berpikir
dan berdoa kepada Tuhan, akhirnya mereka mempunyai ide. Ketika induk ayam hutan
sahabat mereka datang, mereka menceritakan maksudnya. Saat Bapak dan Emak Ayam
Hutan pulang, mereka berbicara keras.
“Besok keluarga
ayam itu akan pindah ke tepi hutan. Kasihan kalau mereka tetap di peternakan
terlantar. Kandang mereka bisa roboh!” kata Bapak Ayam Hutan.
“Padahal anak
mereka delapan ekor. Si bungsu yang berbadan besar itu ingin segera pindah!”
balas Emak Ayam Hutan.
Sepasang musang
yang sedang beristirahat di semak-semak menguping. Mereka tersenyum.
“Akhirnya kita
bisa makan besar. Siapkan bumbu-bumbu yang enak, kita tangkap anak ayam yang
besar,” kata musang jantan.
“Boleh, asal
bantu mencari bumbu umbi-umbian di tepi hutan,” balas musang betina.
Besoknya Bapak
dan Emak Ayam berjalan terlebih dulu. Betul saja, di ujung peternakan mereka
dicegat musang.
“Pak dan Bu
Ayam, lagi pindahan ya? Mana anak kalian yang paling besar itu?” tanya musang
jantan sambil tersenyum-senyum senang.
“Begini saja,
Musang. Kami memang harus rela mengorbankan seekor dari kami,” kata Bapak Ayam.
“Boleh kalian ambil anak kami yang paling besar. Anak kami kan ada delapan
ekor, ditambah kami berdua jadi sepuluh ekor. Hitung saja, atau tanya anak-anak
kami yang nanti lewat ke sini, ayam kesepuluh adalah anak kami yang paling
besar.”
“Hehehe, Bapak
Ayam bisa saja. Tahu keinginan kita,” kata musang betina sambil tersenyum
kurang ajar.
Bapak dan Emak
Ayam lalu pergi cepat-cepat. Sepuluh menit kemudian datang anak ayam yang
pertama. Sepasang musang itu mencegat.
“Tuan Musang,
saya ini anak ayam pertama, berarti ayam yang ketiga. Si bungsu yang berbadan
besar masih jauh,” kata anak ayam itu.
“Kalau begitu,
cepat kamu lewat,” kata musang jantan.
Anak ayam itu
segera berlalu. Sepuluh menit kemudian anak ayam kedua datang. Dia dicegat oleh
sepasang musang yang mulai kelaparan itu. Terjadi lagi pembicaraan seperti
tadi. Anak ayam itu pun selamat.
Ketika menunggu
anak ayam yang ketujuh lewat, sepasang musang itu sudah tidak kuat menahan
laparnya.
“Kenapa tidak
kita tangkap saja semua anak ayam itu,” kata musang jantan. “Meski badannya
kecil-kecil, tapi kalau banyak kan bisa membuat kenyang juga.”
“Huss...! Jangan
berkata begitu,” kata musang betina. “Sabar. Musang sabar itu akan dikasih anak
ayam yang besar dan gendut.”
Anak ayam
ketujuh pun lewat. Dia ketakutan ketika melihat musang jantan menelan ludah.
Dia takut musang itu menerkamnya.
“Kamu ayam
keberapa?” tanya musang jantan.
“Saya... ayam...
kesembilan. Permisi..!” Anak ayam yang ketakutan itu berlari.
Musang jantan
mau mengejarnya. Tapi ekornya ditarik oleh musang betina.
“Sabar... tinggal ayam terakhir!” kata musang betina.
Sepuluh menit
sudah berlalu, tapi anak ayam itu tidak ada lagi yang lewat.
“Kenapa anak
ayam itu tidak juga keluar dari kandangnya?” tanya musang jantan. “Lihat, di
dalam kandang itu masih ada seekor ayam besar.”
“Pasti anak ayam
itu ketakutan. Kita sergap saja. Pintunya terbuka ini,” kata musang betina.
Sepasang musang
itu mengendap mendekati kandang ayam. Pintu kandang itu terbuka. Seekor ayam
besar ketakutan di dalam kandang.
“Hahaha...
ayamnya besar sekali. Kita sergap saja,” kata musang jantan sambil masuk ke
dalam kandang. Musang betina mengikutinya.
Sepasang musang
itu saling memberi isyarat. Lalu menerkam bersamaan. Brraakk... kandang itu
roboh. Kayu-kayu dan bambunya patah. Genting berjatuhan. Sepasang musang itu
mengaduh tertimpa kayu, bambu dan genting.
Meski badan
mereka terasa sakit, sepasang musang itu tidak melepaskan terkamannya. Mereka
keluar dari reruntuhan, menggusur anak ayam besar. Betapa terkejutnya mereka
saat tahu anak ayam besar itu adalah patung jerami yang ditempeli bulu ayam.
“Dasar ayam-ayam
penipu!” kata musang betina.
“Kita juga yang
bodoh. Kenapa percaya ada orang tua yang mau mengorbankan anaknya.”
0 Response to "AYAM KESEPULUH"
Posting Komentar