Proses Keratif Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi
Buah Apel mulai ditulis sekitar tahun 2012. Oh, bukan novel, tapi skenario
film. Bukan karena ada production house yang nawarin. Bukan juga diajak Riri
Reza, Hanung Bramantio atau sutradara keren lainnya. Tapi karena saya bingung,
saya mesti nulis apa?
Tahun itu saya
baru menyadari bahwa usaha saha di bidang percetakan, penerbitan, dan pengelolaan
media, mengalami kebangkrutan. Banyak buku di agen tidak dibayar, karyawan
mengundurkan diri ngambil setoran, ditipu pengerjaan proyek, keuangan majalah
tidak sampai, sementara kredit bank menumpuk.
Awalnya saya
tidak mengerti betul, mengapa usaha yang beberapa cabang mesti tidak jalan
bersamaan. Tertekan, stress, tentu saja sangat mengalami. Tapi sekarang saya
mesti mengucapkan alhamdulillah berkali-kali. Alhamdulillah saya bangkrut. Mungkin
kalau usaha lancar, saya semakin terbiasa dengan kredit bank, terbiasa dengan
proyek yang mesti bagi-bagi hasil (sogokan), dsb.
Hanya satu yang
terpikirkan saat itu: saya mesti nulis lagi. Menulis lagi? Ya, karena sudah
sekitar 10 tahun saya istirahat menulis. Dan periode awal menulis itu adalah skenario
Tragedi Buah Apel. Waktu itu memang ada lomba menulis skenario film anak, tapi
waktunya hanya tinggal 4 hari lagi. Saya menyelesaikan cerpen saja satu minggu
waktu itu. Benar-benar memulai lagi. Begitu dalam 4 hari skenario itu selesai,
waktunya sudah lewat satu hari.
Setting Tragedi
Buah Apel itu di perumahan padat perkotaan. Rumah-rumah kotak, rumah-rumah
tripleks di pinggir sungai kotor atau rel kereta api. Itu sebenarnya setting
yang sudah saya kenal. Saat kuliah saya suka ngikut-ngikut teman yang kerjanya
di rumah singgah. Bangunan tua dan kotor di pinggir rel kereta, disulap jadi
tempat belajar anak-anak pedagang asongan dan pencari rongsokan. Saya suka
nongkrong, melihat mereka belajar dan bekerja.
Entah juga
kenapa awal-awal menulis lagi cerita mereka yang singgah di kepala saya.
Mungkin karena efek saya jadi miskin hehe. Tidak banyak yang saya perdalam
dalam penulisan skenario Tragedi Buah Apel itu. Hanya googling tentang apel,
cara menanamnya, melihat-lihat bentuk pohonnya. Ya, karena sebenarnya saya
asing dengan pohon apel. Di kampung saya rasanya tidak ada pohon apel, kalaupun
ada berbuahnya jelek. Hanya saja, salah satu buah-buahan yang saya suka adalah apel
impor dari China yang besar, harum dan manis.
Karena ini
bentuknya skenario, yang saya ingat juga film-film anak yang pernah saya tonton
di JIFFES (Jakarta Internasional Festival entah tahun berapa, saya pernah nginap
di Jakarta sekitar seminggu hanya karena ingin nonton film-film anak dari
Jepang, Korea, Brazil, Iran, dsb.). Satu film yang kemudian terkenal adalah
Children of Heaver (Majid Majidi, Iran, sudah pada nonton kan?). Saya suka
percakapan-percakapannya yang pendek. Anak-anaknya yang lugu (kalau di buku
semacam Emil-Astrid Lindgren yang hujan-hujanan karena ingin tinggi seperti
pohon, Totto Chan yang ganti-ganti cita-cita, dsb.). Dengan ingatan kepada itu
semua, kisah dua sahabat Alin dan Jiko berusaha mendapatkan sebuah apel China
yang besar, harum dan manis itu, diceritakan.
Entah satu atau
dua tahun kemudian saya menuliskan novelnya. Justru saat itulah saya merasa baper.
Mungkin saat menulis novel, bukan hanya membayangkan adegan, tapi juga
merasakan jadi tokoh itu. Yang saya ingat, berkali-kali saya berhenti menulis
karena tidak kuat ikut merasa sedih. Pada bab Yasmin saya menangis. Lebay
banget. Sementara saat menuliskan Alin, saya memang sedih, tapi sering sambil tersenyum
sendiri. Alin dan Jiko sering berlaku lugu dan membuat tersenyum. Tapi Yasmin
kok sedih tanpa senyum. Karena itu berbulan-bulan setelah selesai menulis novel
ini, sekali waktu saya bilang ke istri, “Kenapa saya masih ingat sama Yasmin
ya....”
Beberapa minggu
sebelum corona, editor Indiva pun bercerita: berulang membaca berulang
menangis. Waduh, saya jadi bertanggung jawab. Pada baca ya, semoga setelah
normal kembali, novel ini bisa dicetak. Tapi jangan laporan pada menangis,
nanti saya semakin merasa bersalah. Bila sedih, pura-pura nggak saja. Gitu-gitu
aja nangis, baper banget.
Kok, jadi
penulis cengeng banget? Ah, saya sebenarnya males dan malu mengakui seperti
ini. Tapi memang begitulah yang saya alami.
Perjalanan
novel Tragedi Buah Apel dibukukan, juga sungguh sangat berliku. Awalnya saya
tidak tahu novel ini mau dikirim ke mana. Waktu itu saya miskin informasi
penerbit yang menerima naskah novel anak. Pernah dikirim ke Bentang Pustaka,
sekitar tujuh bulan kemudian baru ditolak. Ke Tiga Ananda, sudah tidak ada
novel anak. Juga ke Indiva, sementara Indiva tidak menerbitkan novel anak. Sempat
juga dikirim ke BIP, MNC, Grasindo, tapi juga ditolak. Sempat diterima penerbit
Prenada, diterima dan dikasih surat perjanjian, tapi dua tahun lamanya tidak
kunjung terbit. Setiap ditanya, jawabnya lagi ngantri, dsb. Dan dua tahun lebih
setelah surat perjanjian dikirim, saat saya tanya lagi Prenada kemudian menyatakan
tidak jadi mencetak Tragedi Buah Apel. Saya lupa, apa mereka meminta maaf atau
tidak.
Saya mestinya
sedih atau sedikitnya kesal. Tapi entahlah, sejak bangkrut saya tidak banyak
menuntut hehe. Saya tidak menulis status medsos atau membahasnya di blog. Saya
dingin saja, seolah di-PHP dua tahun lebih itu sesuatu yang wajar. Biarinlah,
itu kan mereka yang melakukan. Bukan saya. Kesimpulannya: bila kita ingin
bersabar sampai ke tingkat itu, sekali dalam hidup kita harus bangkrut hehe....
Oh, sudah
panjang ya. Jadi, begitulah, jangan bersedih bila ditolak penerbit. Sudah
banyak novel terkenal ditolak dulu berkali-kali sebelum sukses. Saat ditolak,
itu artinya naskah kita melalui jalan berliku sebelum sukses. Siapa tahu novel
Tragedi Buah Apel pun kembali ke asalnya, dibuat film dan sukses menyaingi
Harry Potter hehe. Amiin.
Sudah dulu ya.
Semoga semuanya bisa menulis dengan indah dan bahagia. @@@
Rancakalong, 6
Juni 2020, pagi saat ingin segera melihat aglonema red kochin yang baru keluar
daun baru.
Contoh komentar
pembaca:
Akan tetapi,
apel hasil jambretan itu justru membawa petaka. Bersama sahabatnya, Jiko si
kutu buku, Alin berusaha keluar dari masalah pelik yang datang silih berganti.
Ide-ide cemerlang hadir lewat buku ajaib Jiko, memberi titik terang pada
permasalahan Alin.
Sebuah kisah
yang seru, lucu, dan sarat pelajaran. Tak mengherankan jika cerita ini menjadi
Pemenang I dalam Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel Anak. Sangat
menginspirasi. Selamat membaca, Kawan! (Ratnani Latifah, resensi buku
Kedaulatan Rakyat, 20-10-2020)
BILA INGIN MEMILIKI BUKU INI, HUBUNGI WA: 085220060628
Harga: Rp 40.000
0 Response to "Proses Keratif Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko"
Posting Komentar