Punuk Kebanggaan
Tata adalah unta muda yang
sedang jengkel. Jengkel dengan tubuhnya. Setiap makan banyak dari punggungnya
menyembul punuk. Semakin banyak makan semakin tinggi punuk itu.
“Haha... punukmu itu seperti
gunung!” ejek Dada si kuda ladang. “Ayo makan yang banyak, nanti punukmu bisa
seperti galah. Kita tidak akan kesusahan lagi bila ingin memetik buah kurma,
haha...!”
“Si punggung berpunuk, hehe...
binatang yang aneh, ya?” komentar keledai.
Tentu saja Tata kesal dengan
ejekan seperti itu. Makanya dia tidak mau makan dan minum yang banyak. Meski
setiap makan perutnya susah merasa kenyang. Maunya makan terus dan minum terus.
Tapi setiap bercermin di air oase dan
melihat punuknya mulai menyembul, Tata langsung menghentikan makan dan
minumnya.
“Kamu ini aneh, Tata,” kata
ibunya. “Kenapa tidak meneruskan makannya?”
“Saya sebal. Bu. Setiap makan
banyak, punuk ini semakin menyembul.”
Ibunya tertawa. “Begitulah
kita, Tata,” katanya sambil mengusap punggung anaknya.
“Kalau makan dan minum yang banyak pasti punuk kita menyembul. Itu adalah kehebatan kita. Binatang lain tidak ada yang mempunyai punuk.”
“Kalau makan dan minum yang banyak pasti punuk kita menyembul. Itu adalah kehebatan kita. Binatang lain tidak ada yang mempunyai punuk.”
“Itulah sebabnya Tata sering
diejek teman-teman. Hanya Tata sendiri yag mempunyai punuk. Kita ini binatang
yang aneh!”
Ibunya tersenyum. “Kamu belum
tahu punuk ini sangat berguna. Kita bisa mnyimpan makanan yang banyak di
punggung, ya berupa punuk ini,” katanya lagi dengan suara yang lembut.
Tapi Tata masih cemberut.
Untungnya teman-temannya kemudian memanggil, mengajaknya bermain di padang
rumput.
Suatu hari seorang saudagar
kaya bermaksud mengirim barang-barang berharganya ke negeri seberang yang
sedang tertimpa bencana. Masalahnya perjalanan yang mesti ditempuh melalui
padang pasir yang ganas.
“Diperkirakan perjalanan yang
akan ditempuh sepuluh hari,” kata seorang pengembara. “Tentu tidak gampang
melewati sepuluh hari di gurun yang gersang. Panasnya bisa mencapai 46 derajat
celcius. Gurun pasirnya juga membahayakan.”
Semua binatang yang ada di
sekitar oase itu ditawari untuk mengangkut barang-barang berharga. Tapi semuanya
menggeleng. Membayangkan panasnya saja mereka sudah ngeri. Apalagi sepuluh hari
tanpa makanan dan badai pasir yang bisa menenggelamkan.
“Kami akan mencoba
mengangkutnya,” kata Punta, unta yang dituakan dan dihormati oleh seluruh unta.
“Asal siapkan juga persediaan kami.”
Tata tentu saja merasa cemas.
Apalagi dia termasuk unta yang diajak melakukan perjalanan penting ini.
“Jangan khawatir, Tata,” kata
ibunya. “Kita ini binatang yang hebat. Turuti saja petunjuk dari Punta. Dia itu
unta yang berpengalaman dan pengetahuannya luas.”
Sehari sebelum berangkat unta
yang akan melakukan perjalanan berkumpul.
“Pertama yang harus kita
lakukan adalah makan dan minum sebanyak-banyaknya,” kata Punta. “Kita bisa
makan sebanyak seperlima dari berat badan kita.”
Mereka pun makan rumput yang
disediakan. Punuk mereka lalu menyembul meninggi di punggungnya. Ada unta yang
berpunuk satu, ada juga yang berpunuk
dua. Setelah siap, rombongan unta pun berangkat.
Setelah jauh menempuh padang
pasir udara semakin terasa panas. “Empat puluh lima derajat celcius” kata
Punta. “Tapi tenang saja. Kulit kita tebal, kita kuat terhadap panas.”
“Tapi Punta,” kata Tata tidak
bisa menyembunyikan kecemasannya. “Bagaimana kalau badan kita terus berkeringat,
kita bia dehidrasi, kekurangan air.”
“Punuk kita ini nanti akan
mencair. Selain menyediakan sumber tenaga pengganti makanan, juga sumber air.”
Punta menerangkan. “Di lambung kita juga ada kantung air. Kantung ini bisa
mencegah keluarnya keringat yang berlebihan.”
Perjalanan pun berlanjut.
Siang berganti malam. Setelah lelah mereka beristirahat, lalu melanjutkan lagi
perjalanan. Suatu siang angin berhembus kencang.
“Kita bersiap, badai pasir
akan datang,” kata Punta. “Kelopak mata kita itu ada tiga lapis, bulu mata ada
dua lapis. Katupkanlah semuanya agar bisa menahan badai pasir.”
Badai pasir itu kemudian
datang. Angin kencang dan pasir panas yang beterbangan menerjang apa saja. Tapi
rombongan unta yang terduduk di pasir itu tidak bergeming. Setelah badai pasir
berlalu, mereka bangun. Butiran pasir berjatuhan dari tubuh mereka. Lalu mereka
melanjutkan perjalanan.
Setelah sepuluh hari
perjalanan rombongan unta itu sampai ke negeri tujuan. Mereka disambut gembira
sultan dan seluruh rakyat yang sedang tertimpa bencana. Mereka pun disediakan
makanan dan minuman yang banyak. Setelah cukup beristirahat mereka pulang.
Tentu saja Tata sangat senang
ikut serta dalam perjalanan penting membantu yang sedang tertimpa bencana.
Mereka disanjung dan dipuji semua penduduk negeri.
“Ini semua berkat punuk ini,”
kata Tata kepada teman-temannya. Teman-temannya mengangguk tanda mengerti. Tata
senang tidak ada lagi yang mengejek punuknya. Dia sekarang malah bangga
mempunyai punuk di punggungnya. **
penulis Yosep Rustandi foto : pxhere.com
0 Response to "Punuk Kebanggaan"
Posting Komentar