Kisah Nyai Bagendit (Asal-usul Situ Bagendit)
Jaman dahulu, di daerah Garut, Jawa Barat, ada seorang janda yang hebat. Hebat karena kekayaannya melimpah. Kebun, ternak, ikan, pabrik dan sawah, terhampat luas di berbagai arah.
Nama janda itu adalah Nyai Endit. Rumahnya megah di tengah sawah. Nyai
Endit tinggal sendirian di rumahnya. Tidak ada pembantu atau tetangganya yang
menemani. Mengapa?
Karena Nyai Endit terkenal pelit (kikir). Tidak pernah Nyai Endit
memberi. Setiap panen Nyai Endit mengamati. Takut ada padi yang dicuri. Nyai
Endit hapal berapa kilogram padi dihasilkan sawahnya. Berapa ternah yang
beranak dari setiap peternakannya yang banyak.
Meski kekayaannya susah dihitung, Nyai Endit merasa tidak beruntung. Jadi
setiap panen kekayaannya terus ditabung. Bila ada yang mengingatkan untuk
berbagi, Nyai Endit langsung pergi. Demi melindungi hartanya, Nyai Endit rela
menyakiti sesamanya.
Sekali waktu ada anak-anak yang memancing belut di sawah Nyai Endit yang
luas. Tiba-tiba tanah lempung melayang. Tuk…! tuk…! tuk…! Beberapa anak terkena
lemparan.
“Hai, anak-anak tidak tahu diri. Cepat pergi! Jangan memancing di sini!”
teriak Nyai Endit. “Dilarang memancing belut dan ikan di sawah ini. Karena
semuanya diternakkan!”
Anak-anak berlari ke sana ke mari. Tidak mengerti apa yang terjadi.
Mereka bingung. Mengapa Nyai Endit marah-marah? Karena di sawah mana pun
memangcing belut tidak dilarang.
Saat bulir-bulir padi mulai matang, masalah pun menghadang. Para tetangga
tidak mau membantu. Padi Nyai Endit telah panen satu minggu.
“Mengapa tidak mau panen di sawahku?” tanya Nyai Endit kepada
tetangganya.
“Nyai Endit terlalu pelit. Tak mau sedekah barang sedikit,” jawab para
tetangga.
“Kalau begitu besok panen kita kerjakan. Saya akan syukuran, membuat nasi
tumpeng dan memasak ikan.”
Para tetanggapun lalu menyanggupi. Membantu memetik dan mengangkut padi.
Setengah hari padi Nyai Endit sudah rapi di lumbung. Saat ada yang mengingatkan
untuk sedekah, Nyai Endit malah marah. Katanya, dia masih harus menabung.
Padahal di lumbung padi hampir tidak tertampung.
Syukuran pun dilangsungkan hari minggu. Tapi hanya untuk tetangga yang
membantu. Tetangga sedesa berdatangan ingin tahu. Ternyata nasi tumpengnya
hanya satu.
“Dasar Nyai Endit pelit,” kata para tetangga yang langsung pamit. Karena
nasi tumpeng satu dibaginya sulit.
“Kasihan, Tuan, berilah makanan sekedar, untuk mengganjal perut yang
lapar,” kata kakek pengemis dengan tubuh bergetar.
Nyai Endit bukannya memberi, malah marah tiada henti. “Dasar pengemis
tidak tahu malu! Pekerjaannya hanya minta melulu! Cepat pergi sebelum dilempar
batu!” bentak Nyai Endit.
“Kasihan Nyai Endit yang kaya. Memilih menikah dengan harta. Akhirnya
mendapat bencana.” Si kakek itu berkata seperti bersenandung.
Setelah si kakek pergi, mata air memancar dari halaman rumah. Awalnya
sawah Nyai Endit terendam air. Lalu air masuk ke dalam rumah. Nyai Endit
berteriak minta tolong.
“Banjiiirrr…! Tolooongng…!”
“Cepat berenang, Nyai Endit, sebelum air bertambah tinggi,” kata para
tetangga.
Tapi Nyai Endit tidak mau berenang. Karena kekayaannya
takut hilang. Nyai Endit akhirnya tenggelam. Terendam bersama rumah, lumbung,
dan hartanya. Tempat itu akhirnya menjadi situ (danau). Orang-orang menamainya…
Situ Bagendit. @@@
Penulis : Yus R. Ismail, Foto : wikipedia.org
0 Response to "Kisah Nyai Bagendit (Asal-usul Situ Bagendit) "
Posting Komentar