Kisah Buaya, Kambing dan Kancil
Suatu hari, seekor kambing pergi ke tepi sungai. Maksudnya ingin mencari
air bersih untuk minum. Tapi belum juga turun ke tepi sungai, dia mendapatkan
seekor buaya tertindih pohon kelapa. Buaya itu merintih-rintih kesakitan.
“Tolonglah saya, Kambing. Tubuh ini seperti remuk. Tolong pindahkan pohon
kelapa ini,” kata buaya mengiba.
Kambing sebenarnya tidak mau menolong buaya. Bagaimanapun, buaya adalah
binatang yang ditakuti. Dia buas. Kambing ingat, saudaranya ada yang menjadi
korban kebuasan buaya.
“Tolonglah, Kambing. Jangan biarkan tubuh saya busuk ditindih batang sialan ini.”
Akhirnya kambing pun menolong buaya. Dia tidak perduli buaya adalah
binatang buas. Dia tidak perduli saudaranya diterkam dan dimangsa buaya. Dia
tidak perduli kejahatan buaya. Karena sekarang, buaya adalah makhluk tidak
berdaya yang memerlukan pertolongannya.
Dengan susah payah kambing menggeser pohon kelapa yang besar itu. Seluruh
tenaganya dikerahkan. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ketika pohon kelapa
itu terguling dari tubuh buaya, dengan sigap buaya mencaplok kaki kambing.
“Eh, mau apa kamu ini, Buaya? Jangan bercanda. Aku mau minum dan pergi.
Jangan halangi aku,” kata kambing dengan suara yang gugup.
“Engkau telah menolong saya
melepaskan diri dari tindihan batang kelapa, Kambing. Sekarang tolong saya yang kelaparan.”
“Kamu mestinya berterima kasih. Bukan menakuti seperti ini.”
“Saya tidak menakuti. Saya mau memakanmu sekarang!”
“Tapi aku telah menolongmu! Apa kebaikan pantas dibayar dengan
kebusukan?”
“Pantas saja. Coba tanya tiga makhluk yang lewat di sungai ini. Kalau
jawabannya lebih banyak pantas, kamu langsung saya makan.”
Kambing pun menarik napas panjang. Sedih. Menyesal dia menolong makhluk
yang tidak tahu berterima kasih. Sia-sia menolong makhluk yang tidak berbudi.
Tapi apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Ketika ada sehelai tikar terbawa arus sungai, kambing bertanya. Dia
sebenarnya tidak mau menurut anjuran buaya, tapi itulah satu-satunya kesempatan
untuk selamat.
“Tikar, apa pantas kebaikan dibalas dengan keburukan?”
“Pantas saja. Aku ini pernah menolong manusia menjadi alas agar mereka
tidak duduk di tempat kotor. Pengabdianku itu bertahun-tahun kulakukan. Tapi
apa yang terjadi kemudian? Setelah tubuhku kotor dan bolong-bolong, aku dibuang
ke sungai seperti ini.”
Kambing sedih mendengar jawaban itu. Tapi dia tidak yakin, bahwa kebaikan
pantas dibalas dengan keburukan. Makanya ketika sebuah topi terbawa arus,
kambing segera bertanya.
“Topi, apa pantas kebaikan dibalas dengan keburukan?”
“Pantas saja. Aku ini pernah melindungi manusia dari sengatan panas matahari dan hujan. Tapi setelah
warnaku kusam dan bolong-bolong, aku dicampakkan seperti ini.”
Kambing semakin sedih. Apalagi ketika mendengar buaya tertawa.
“Nah, sudah terbukti kan sekarang. Kebaikan itu pantas dibayar dengan
keburukan. Karenanya siap-siaplah kamu akan kumakan.”
Tapi sebelum buaya mematahkan kakinya, kambing berteriak.
“Tunggu sebentar! Ada satu lagi yang belum kutanya,” katanya sambil menunjuk seekor kancil yang
mendekat.
Kambing sebenarnya berharap banyak kepada kancil. Dia tahu, temannya itu
binatang yang cerdik. Kadang kancil memang berlaku sombong. Tapi dalam keadaan
buruk kadang dia punya ide yang bagus.
“Wah, percuma. Kalaupun kancil akan menjawab tidak pantas, yang menjawab pantas
tetap lebih banyak.”
“Tidak apa. Saya hanya ingin tahu saja jawaban terakhir.”
“Kalau begitu boleh. Tanya saja sepuasmu.”
Tapi setiap ditanya, “pantas tidak kebaikan dijawab dengan keburukan?”
Kancil tampak seperti yang bingung. Berkali-kali dia bilang, “Saya tidak
mengerti. Saya bingung.” Juga ketika cerita awalnya diterangkan oleh kambing.
Buaya yang merasa sudah menang segalanya, jengkel juga melihat kebodohan
kancil. Maka dengan lantang dia bilang, “Dasar bodoh! Masa segitu saja tidak
mengerti. Ceritanya sudah dipaparkan, masih juga tidak mengerti. Dasar bloon.”
“Saya memang ingin mengerti. Tapi saya bodoh. Maaf. Tapi kalau
diperagakan kembali sepertinya saya bisa mengerti.”
Buaya yang semakin jengkel dengan kebodohan kancil berkacak pinggang.
Lalu dia tengkurap di tanah tempat tadi tertimpa pohon.
“Awalnya seperti ini, bodoh! Ayo kambing angkat kayunya ke atas tubuh
saya.”
Kambing dengan dibantu kancil menggeser pohon besar ke atas tubuh buaya.
“Nah, setelah ini kambing datang dan menolong saya. Ayo kambing geser
pohonnya.”
Kambing yang dipegang tangannya oleh kancil baru mengerti rencana cerdas
temannya itu.
“Cepet tolong, Kambing!” teriak buaya yang mulai merasa berat.
“Eh, dengar buaya! Kamu
tidak tahu diri! Sudah ditolong
malah berkhianat. Saya sudah lebih dari mengerti. Makanya nikmati pohon
berat ini sampai nanti.
Selamat tinggal,” kata kancil.
Kancil dan kambing pun pergi. Buaya melolong-lolong. Dia menyesal sudah
berlaku kurang ajar.
**
penulis: Lina Herlina
gambar: dosenpintar.com
Hikmah: Tidak tahu diri, tidak sadar untuk berterima kasih, seringkali membuat badan celaka.
0 Response to "Kisah Buaya, Kambing dan Kancil"
Posting Komentar