Si Leungli


Cerita Rakyat Jawa Barat


Nyai Bungsu Rarang hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Dia tinggal di rumah warisan yang kecil dan sudah rusak. Atapnya banyak yang bocor. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu bolong-bolong. Meski begitu, Nyai Bungsu Rarang rajin membersihkan rumah dan halamannya. Setiap hari rumahnya disapu. Daun-daun yang berserakan di halaman dibersihkannya.

Nyai Bungsu Rarang hidup dengan umbi-umbian yang tumbuh di sekitar rumahnya. Ada singkong, ubi jalar, talas. Tapi itu pun hanya cukup untuk mengganjal perut beberapa hari saja. Selebihnya Nyai Bungsu Rarang harus berpuasa. 
Sebenarnya Nyai Bungsu Rarang mempunyai dua orang kakak. Mereka tinggal masih satu kampung. Kedua kakaknya hidup berkecukupan. Rumah mereka besar-besar. Mereka pun mempunyai sawah, kebun, dan kolam. Tapi mereka tidak pernah merasa kasihan kepada adiknya. Kalaupun mereka memanggil Nyai Bungsu Rarang, bukan untuk diberi makanan atau pakaian, melainkan meminta untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Biasanya Nyai Bungsu Rarang disuruh menyapu halaman, mengepel lantai, mencuci pakaian, memasak. Setelah selesai baru Nyai Bungsu Rarang dikasih nasi rames.  Dan pulangnya, tidak dikasih apa-apa.
Tapi Nyai Bungsu Rarang menjalaninya dengan ikhlas. Dia mengerjakan suruhan kakaknya dengan gembira. Menurutnya, itu berarti kedua kakaknya mengakuinya sebagai saudara. Upah sepiring nasi pun membuatnya bergembira. Dan besoknya, Nyai Bungsu Rarang kembali menjalani kehidupan sebatang karanya. Dia mencari umbi-umbian di sekitar rumahnya. Dan bila semua umbi-umbian itu masih kecil, terpaksa dia hanya minum air putih dan makan daun-daunan.
Sebenarnya itu masih belum seberapa. Karena sering juga Nyai Bungsu Rarang diperlakukan tidak pantas. Setelah lelah mencuci baju dua ikat besar, Nyai Bungsu Rarang malah dimarahi karena ada noda yang tidak hilang.
“Kamu ini bagaimana, masa bekerja seperti ini! Lihat nih, noda ini kenapa tidak hilang! Kalau bekerja pakai tenaga, jangan cuma dicelup-celup!”
“Teteh, noda ini susah hilangnya. Ini getah pisang.”
“Melawan! Sudah salah masih melawan! Boleh ini tidak bersih, tapi dikurangi jatah makan kamu!”
Nyai Bungsu Rarang sering menangis mendapat perlakuan seperti itu. Bukan, bukan karena jatah makannya dikurangi menjadi nasi satu kepal dan satu goreng tempe. Tidak dikasih upah pun Nyai Bungsu Rarang ikhlas asal dia sanggup mengerjakannya. Dia sedih karena hasil pekerjaannya tidak dihargai. Dia sudah bekerja setulus hati dengan seluruh tenaganya, masih dianggap kerja asal-asalan.  
Tapi hari berikutnya ketika kakaknya meminta lagi bekerja, Nyai Bungsu Rarang datang lagi dengan gembira. Pekerjaan yang menumpuk diselesaikannya, upahnya sekepal nasi dan satu potong goreng tempe diterimanya. Kalau kemudian masih dimarahi, Nyai Bungsu Rarang hanya menunduk, menerima saja.


Sifat pemarah dan tidak mengenal kasihan seperti itu dilakukan kedua kakaknya. Mereka sebenarnya seringkali marah mengada-ada. Menurut mereka, kalau sudah dimarahi, Nyai Bungsu Rarang bisa dihukum dengan mengurangi jatah makannya. Itu sebenarnya tujuan utamanya, mengurangi jatah makan Nyai Bungsu Rarang.
Tentu saja tubuh Nyai Bungsu Rarang sangat kurus. Sekali waktu dia mendapatkan sebuah singkong yang besar. Dia sangat gembira. Singkong itu dicuci, dipotong-potong, dan direbus. Singkong sebesar itu bisa membuat perutnya kenyang dua hari. Dengan gembira Nyai Bungsu Rarang memindahkan singkong matang ke dalam piring. Biar cepat dingin.
Di depan rumah terdengar orang yang mengucapkan salam, lalu mengetuk pintu. Nyai Bungsu Rarang membuka pintu. Di depannya ada seorang kakek, nenek, dan empat orang anak. Tubuh mereka sangat kurus dan kotor.
“Nyai, kasihanilah kami ini. Sudah tiga hari kami tidak makan. Semoga Nyai member kami sedikit makanan dan air putih.”
Tanpa banyak berpikir Nyai Bungsu Rarang mempersilakan keluarga pengemis itu untuk duduk di teras. Dia segera membawa singkong rebus dan air putih. Begitu dipersilakan, mereka makan lahap sekali. Hanya dalam waktu sebentar singkong habis, dan air putih tinggal tekonya.
Nya Bungsu Rarang tersenyum melihatnya. Dia bahagia bisa membuat orang lain kenyang, meski perutnya mulai berbunyi karena dari kemarin belum terisi makanan.
“Terima kasih Nyai. Engkau sangat baik hati. Perhiasan yang akan selalu membuatmu berbahagia. Kakek sekeluarga pamit pulang. Rijki buatmu ada sungai kecil itu. Semoga engkau juga bisa makan hari ini.”
Si Kakek sekeluarga itu pun pergi. Nyai Bungsu Rarang melambaikan tangan. Dia berbahagia. Dia tersenyum sambil menangis. Berbahagia karena bisa membuat orang lain kenyang. Menangis karena kebaikan itu harus ditebus dengan rasa lapar yang mulai menguasai tubuhnya.
Tapi itu pun tidak lama. Nyai Bungsu Rarang ingat pesan si kakek, rijkinya mungkin ada di selokan itu. Siapa tahu dia mendapatkan ikan yang banyak. Diambilnya ayakan, dia akan mencari ikan kecil. Di selokan itu memang banyak ikan kecil. Ada impun, beunteur, cingok, paray. Tapi yang membuat Nyai Bungsu Rarang gembira karena dia mendapat seekor anak ikan mas.
Ikan-ikan itu segera dicuci di pancuran belakang rumahnya. Ikan-ikan kecil itu dibungkus dengan daun pisang, dibumbui daun-daunan dan garam. Tapi anak ikan mas tidak jadi ikut dimasak. Nyai Bungsu Rarang merasa kasihan. Anak ikan mas itu dilepasnya ke kolam. Meskipun itu kolam kecil, tidak ada ikannya, karena maksudnya juga hanya untuk mengalirkan air, tapi sebenarnya bisa menampung ikan.
Anak ikan mas itu sangat gembira. Dia berenang ke sana ke mari. Air di kolam itu memang menyegarkan karena langsung mengalir dari mata air. Airnya bening. Karenanya anak ikan mas itu berenang terlihat jelas.
Sejak mempunyai anak ikan mas itu Nyai Bungsu Rarang semakin giat bekerja. Bila kakak-kakaknya menyuruh bekerja, upahnya selalu dibawa pulang. Sepiring nasi itu dibagi dua. Nyai Bungsu Rarang bergembira bisa makan bareng dengan anak ikan mas. Karena setiap dikasih makan si anak ikan itu menyambutnya dengan gembira juga. Dia tidak hanya berenang ke sana ke mari, tapi juga melompat-lompat. Nyai Bungsu Rarang sering tertawa-tawa melihatnya.


Anak ikan mas itu diberi nama Si Leungli. Setiap hari Nyi Bungsu Rarang menyempatkan diri melihat Si Leungli. Kalau sehari saja Si Leungli tidak dikasih makan berenangnya terlihat kurang lincah. Nyi Bungsu Rarang seringkali merasa kasihan. Karenanya selain bekerja di kakaknya, Nyi Bungsu Rarang juga sering menawarkan diri bekerja di rumah orang-orang kaya.
Berbeda dengan kakaknya, orang-orang kaya yang menyuruh Nyi Bungsu Rarang bekerja sangat baik hati. Nyi Bungsu Rarang selalu disuruh makan dulu sebelum bekerja dan sebelum pulang. Tapi kalau mau pulang Nyi Bungsu Rarang seringkali menolak. Karena dia ingin cepat-cepat pulang. Jatah makannya oleh orang kaya itu dibungkus untuk dibawa pulang. Kadang juga Nyi Bungsu Rarang dikasih kue-kue yang manis, baju bekas yang masih bagus, dan beras.
Sesampainya di rumah biasanya Nyi Bungsu Rarang bersujud syukur kepada yang Yang Maha Kuasa. Karena atas kuasaNya semua rijki itu didapatkannya. Nyi Bungsu Rarang segera membawa nasi bungkus ke pinggir kolam.Dia akan bernyanyi memanggil Si Leuli.

Leungli… Leungli… cepat datang
Ini ada nasi matang
Meski tidak satu rantang
Tapi cukup bikin kenyang
Karena dibuat dengan rasa sayang

Seperti yang  mengerti, Si Leungli keluar dari persembunyiannya. Dia berenang ke sana ke mari, melompat-lompat. Dan begitu Nyi Bungsu Rarang menaburkan nasi, Si Leungli menyambutnya dengan salto. Nyi Bungsu Rarang tertawa melihatnya. Kalau nasi bungkus itu sudah habis, Nyi Bungsu Rarang merendam tangannya di kolam. Dan Si Leungli membersihkannya. Dia memakan remah-remah di tangan Nyi Bungsu Rarang yang tertawa-tawa kegelian. Kadang juga berenang bermain di antara jari tangan Nyi Bungsu Rarang.
Setiap hari dikasih makan dan diajak bercanda, Si Leungli tidak terasa semakin besar. Badannya lempay, memanjang. Sirip dan buntutnya panjang-panjang. Warnanya kuning keemasan. Kalau sedang berenang tampak indah sekali. Nyi Bungsu Rarang suka melihatnya berlama-lama. Kadang tangannya dicelupkan ke kolam. Dan Si Leungli menghampirinya, mendiamkan tubuhnya diusap-usap.
Persahabatan antara Nyi Bungsu Rarang dan Si Leungli membawa banyak perubahan kepada keduanya. Si Leungli tampak sehat, bercahaya, dan indah tubuhnya. Nyi Bungsu Rarang selalu bergembira. Wajahnya bercahaya. Tidak tampak bahwa dia seorang yang suka bekerja keras. Sepertinya selalu ada aura cinta di wajah dan sekujur tubuh mereka.
Tentu saja ini membuat kedua kakaknya curiga. Setiap Nyi Bungsu Rarang disuruh bekerja, dimarahi, dihukum dengan mengurangi jatah makannya, sikap Nyi Bungsu Rarang tetap sama. Dia selalu menerima dengan gembira. Lalu pulang sambil bernyanyi.
Kedua kakak yang curiga itu sekali waktu mengikuti Nyi Bungsu Rarang. Dia mengintip bagaimana Nyi Bungsu Rarang membagi makanannya dengan Si Leungli. Mereka melihat Si Leungli berenang ke sana ke mari, melompat-lompat, lalu salto. Nyi Bungsu Rarang tertawa-tawa melihatnya.
“Sepertinya ikan itu yang membuat si Bungsu Rarang selalu gembira,” kata kakaknya yang pertama.
“Mestinya ikan itu kita ambil, Kak. Ikan itu yang menyebabkan si Bungsu Rarang ingin cepat pulang kalau disuruh bekerja,” kata kakaknya yang kedua.
“Ya. Lagipula, ikan itu sudah begitu besar. Sepertinya enak kalau digoreng.”
Besoknya Nyi Bungsu Rarang diminta lagi bekerja oleh kakaknya.
“Sekarang bukan pekerjaan rumah yang ingin kamu bantu. Kami ingin kamu membeli bumbu-bumbu dapur di toko di kampung tetangga. Di sana lebih kumplit. Kami ingin memasak gulai yang enak besok,” kata kakaknya.
 Nyi Bungsu Rarang mengangguk. Karena dia tidak punya pilihan lain. Selama ini dia belum pernah menolak disuruh apa pun. Padahal perjalanan ke kampung tetangga itu memerlukan waktu sepuluh jam pulang pergi. Jadi  pasti pulangnya sore.
Sepanjang perjalanan ke kampung tetangga Nyi Bungsu Rarang merasa gelisah. Tidak seperti biasa, kakinya seperti yang berat melangkah. Ingatannya selalu tertuju kepada Si Leungli. Hari ini mungkin kamu tidak mendapatkan makan Leungli, gumamnya. Tapi tidak apa, karena yang terpenting kamu tahu begitu saya mendapat makanan pasti dibagi dua.
Sewaktu Nyi Bungsu Rarang pergi ke kampung tetangga, kedua kakaknya mendatangi rumah Nyi Bungsu Rarang. Mereka membawa jaring untuk menangkap Si Leungli. Air kolam yang bening itu mereka alirkan ke sungai kecil. Air pancuran mereka tutup sementara. Sebentar saja kolam itu surut. Lalu mereka turun ke kolam menangkap Si Leungli. Si Leungli berlari-lari ke sana ke mari. Dia terkejut ada orang begitu kasar mau menangkapnya. Sebentar saja air kolam menjadi keruh.
Akhirnya Si Leungli menyerah. Dia terperangkap jaring. Si Leungli meronta-ronta. Tapi kedua kakak beradik itu tidak memperdulikan. Si Leungli dimasukkan ke dalam wadah, dibawa pulang. Sesampainya di rumah, kedua kakak Nyi Bungsu Rarang itu menyembelih Si Leungli, lalu menggorengnya, dan memakannya. Yang tersisa tinggal tulang dan kepala Si Leungli. Sisa itulah yang disimpan di lemari, akan diberikan kepada Nyi Bungsu Rarang.
Sore hari Nyi Bungsu Rarang baru pulang. Dia langsung menghadap kepada kakaknya. Dia pamitan ingin segera pulang.
“Kakak, bumbu-bumbu pesanan sudah ada. Saya ingin cepat pulang. Perasaan ini sejak tadi berangkat tidak enak terus. Saya ingin cepat istirahat,” kata Nyi Bungsu Rarang.
“Ya, bagus semua bumbu yang dipesan ada. Kalau kamu mau pulang, bawa juga tuh upahnya sekepal nasi dan ada ikan goreng di lemari buat kamu.”
Entah kenapa, ketika kakaknya menyebut ikan goreng, Nyi Bungsu Rarang terperanjat. Tubuhnya bergetar. Airmatanya seperti yang ingin tumpah. Tapi semuanya ditahannya. Dia mengambil nasi yang sudah dibungkus daun pisang. Dan ketika mengambil kepala ikan gareng, tangannya seperti bergetar. Ikan itu dipeluknya sepanjang perjalanan.
Nyi Bungsu Rarang sebenarnya masih belum yakin bahwa ikan goreng itu Si Leungli. Tapi entah kenapa hatinya berkata lain. Airmatanya berjatuhan. Sesampainya di rumah, melihat kolamnya yang surut dan ada bekas orang mengacak-acak, airmata Nyi Bungsu Rarang tidak tertahan lagi. Seluruh tubuhnya bergetar.

“Duh… Leungli…
Hatiku sakit sekali
Aku sedih engkau mati
Meski selalu hidup di hati
….”



Semalaman Nyi Bungsu Rarang menangis. Besoknya dia membawa kepala Si Leungli ke belakang rumahnya. Kepala Si Leungli dikubur. Tempatnya dibersihkan. Memakai ciri sebuah batu. Setiap hari Nyi Bungsu Rarang membersihkan kuburan Si Leungli. Setiap hari dia selalu terkenang akan keceriaan sahabatnya itu. Dia ingat sewaktu Si Leungli berenang gembira, melompat-lompat, salto, memakan remah-remah di tangannya, bermain di jemari tangannya.
Suatu hari Nyi Bungsu Rarang melihat di kuburan Si Leungli ada pohon yang tumbuh. Pohon yang kecil itu disiram oleh Nyi Bungsu Rarang. Maksudnya biar pohon itu merindangi kuburan Si Leungli. Setiap hari pohon itu bertambah tinggi dan lebat. Akhirnya pohon itu berbuah.
Nyi Bungsu Rarang merasa aneh pada awalnya karena buah-buah itu berwarna kuning keemasan. Nyi Bungsu Rarang membersihkan kuburan sambil bernyanyi:

Leungli… Leungli… pujaan hati
Tenanglah engkau di bumi
Engkau dan aku alamnya beda
Tapi kita sama-sama cinta

Selesai bernyanyi, buah-buahan itu berjatuhan. Nyi Bungsu Rarang memungutinya. Dia heran karena buah-buahan itu berat, seperti logam. Logam itulah yang dibawanya ke kota, diperiksa di toko perhiasan. Ternyata itu adalah emas murni yang harganya sangat mahal.
Tentu saja Nyi Bungsu Rarang menjadi kaya raya. Rumahnya dibangun jadi bagus. Sawah dan kebunnya luas. Binatang ternaknya dititipkan di siapa saja yang mau. Setiap hari dia berderma. Orang-orang kampung banyak yang membantu di rumahnya. Ada yang membersihkan rumah. Ada yang memelihara taman dan bunga-bunganya. Ada yang memasak. Setiap hari Nyi Bungsu Rarang memasak banyak. Karena setiap hari dia memberi makanan kepada orang-orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kemudian Nyi Bungsu Rarang membuat lumbung-lumbung untuk persediaan makanan. Membuat balai pengobatan gratis bagi masyarakat yang miskin. Membuat sekolah gratis bagi anak-anak miskin.
Meski banyak yang membantu, kuburan Si Leungli yang di belakang rumahnya selalu dia sendiri yang membersihkannya. Orang-orang masih belum tahu pohon di kuburan Si Leungli itu berbuah emas. Sampai sekali waktu datang kedua kakaknya. Sekarang mereka datang dengan membungkuk-bungkuk, memeluk Nyi Bungsu Rarang dan terus-terusan bilang “adikku sayang”.
“Sebenarnya kakakmu ini sangat gembira mendengarmu menjadi kaya raya seperti ini. Makanya segera kami menemuimu. Kami ingin ikut bergembira,” kata kakak pertamanya.
Nyi Bungsu Rarang tersenyum. “Ya, rijki ini memang sangat banyak, Teteh. Karenanya cukup untuk membiayai sekolah gratis, balai pengobatan gratis.”
“Ya, kami bergembira kamu baik hati seperti itu. Tapi kami ini penasaran, dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu. Kamu pastinya mau bercerita, kami ini kan saudaramu,” kata kakaknya yang kedua.
Tanpa curiga apapun Nyi Bungsu Rarang lalu menceritakan asal mula buah-buah emas itu. Kedua kakaknya saling memandang.
“Begitulah Kak, kekayaan ini berasal dari pohon yang tumbuh di kuburan Si Leungli.”
“Oh, bagus sekali, Adikku Sayang. Karena kedua kakakmu ini sangat rindu kepadamu, ijinkanlah kami untuk menginap.”
“Senang sekali Kakak mau menginap,” kata Nyi Bungsu Rarang gembira.
Malamnya, ketika Nyi Bungsu Rarang dan orang-orang yang membantu sudah terlelap, kedua kakaknya itu turun ke belakang rumah. Mereka menghampiri pohon di kuburan Si Leungli. Mereka membawa wadah yang besar untuk buah emas. Lalu mereka menyanyai:

             Leungli… Leungli… pujaan hati
Tenanglah engkau di bumi
Engkau dan aku alamnya beda
Tapi kita sama-sama cinta

Selesai mereka menyanyi, dari atas pohon ada buah berjatuhan. Tapi bukan buah emas seperti biasanya. Buah yang berjatuhan seperti dilemparkan itu adalah buah-buah berduri. Buahnya kecil, tapi jatuh seperti dilemparkan. Kedua kakak Nyi Bungsu Rarang menjerit-jerit. Buah-buahan berduri itu melukai kepalanya, dahinya, lehernya, punggungnya. Luka-luka itu terasa perih. Mereka pulang tanpa pamit. Karena malu oleh orang-orang bila mengetahui kelakuannya. @@@

Penulis : Yus R. Ismail, Ilustrasi : Athansyah



Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Si Leungli"