Asal-usul Cibinong
Jaman dahulu kala ada orang yang sangat rajin bekerja. Pekerjaannya menyusuri hutan, mengambil apa saja yang bisa dimanfaatkan. Sekali waktu dia membawa buah-buahan. Di waktu lain dia membawa umbi-umbian. Kadang juga membawa ikan. Pernah juga membawa kayu bakar.
Namanya Ki Rewok. Sebenarnya itu nama
panggilan, karena dia berjenggot dan berkumis, rambutnya panjang-panjang. Rewok
kata orang Sunda. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya nama asli Ki Rewok. Ki
Rewok sendiri tidak pernah mempermasalahkannya. Jadi orang-orang kampong tidak
canggung lagi memanggilnya Ki Rewok.
Selain rajin bekerja, Ki Rewok juga
dikenal sebagai orang yang mau menolong siapa saja. Kadang-kadang hasil dari
hutan tidak dia jual semuanya, karena yang sebagian lagi dia berikan kepada
siapa saja yang membutuhkan.
Sekali waktu Ki Rewok mendapatlan seekor
kijang. Kijang itu dibawanya ke pasar, mau dijual. Tapi belum sampai ke pasar,
ada seorang perempuan hamil yang sepertinya menginginkan kijang itu. Sayangnya
suami perempuan hamil itu tidak mempunyai uang. Perempuan itu hanya
bertanya-tanya, di mana mendapatkan kijang, bagaimana memburunya, mau dijual ke
mana, berapa harganya, dsb.
Ki Rewok tahu perempuan hamil itu
menginginkan kijangnya. Maka dia bicara, “Nyai, apakah Nyai menginginkan kijang
ini? Kalau mau ambil saja, pasak yang enak.”
Si Nyai malah tersenyum. Suaminya yang
duduk di sebelah istrinya pura-pura tidak mendengar.
“Kenapa?” kata Ki Rewok tidak mengerti.
“Saya memang ingin merasakan daging
kijang, tapi… suami saya tidak punya uang.”
“Tidak apa-apa tidak dibayar juga.”
Si Nyai terbengong.
“Dibayar nanti saja kalau saya punya
uang, Ki...,” kata suaminya menambahkan.
“Nanti juga tidak usah dibayar. Bawa
saja. Hitung-hitung syukuran buat si jabang bayi.”
Suami istri yang sedang menunggu
kelahiran anaknya itu sangat gembira. Ki Rewok setelah menyerahkan kijangnya
lalu pamitan pulang. Dia tidak banyak pikiran meski hari itu tidak membawa
apa-apa ke rumahnya.
Begitu juga kalau di kampungnya ada yang
sedang membuat rumah, memperbaiki jalan umum, membuat jembatan, Ki Rewok selalu
saja membantu. Tentu saja orang seperti Ki Rewok tenaganya sangat diperlukan.
Karena kekuatan ototnya lebih dari yang lain. Kayu gelondongan yang oleh orang
lain mesti dipikul oleh empat orang, Ki Rewok sanggup mengangkatnya tanpa
terlihat kesakitan.
Pekerjaan rutinnya adalah berangkat ke
hutan pagi-pagi sekali. Jalan yang dilaluinya juga rutin. Dari ujung kampong
masuk ke jalan setapak yang semakin dalam sepertinya jarang dilalui manusia. Habis
jalan setapak sampailah ke sebuah situ, danau, yang airnya bening.
Di situ itu biasanya Ki Rewok
beristirahat sepulangnya dari hutan. Tempatnya memang indah dan dingin.
Sepanjang pinggir situ penuh dengan pepohonan tua yang sudah berjenggot. Ki
Rewok biasanya istirahat dengan bersandar ke sebuah pohon besar. Di seberang
situ ada pohon kayu yang lebih besar lagi. Dahan-dahannya melingkar seperti
payung terbuka. Daunnya lebat. Ki Rewok sangat suka memandang pohon kayu itu.
Sayangnya Ki Rewok tidak pernah lama beristirahat, karena takut kemalaman.
Di situ itu banyak ikannya. Kadang Ki
Rewok juga suka memancing. Ikan beunteur, lele, bogo, tawes, tidak susah
mendapatkannya.
Suatu hari panas sangat terik. Ki Rewok
yang hari itu memasang jaring tidak
mendapatkan seekor pun buruannya. Sepertinya binatang pun malas
berkeliaran di hari yang panas seperti itu. Ki Rewok pulang dengan langkah
gontai. Lelah dan haus menguasai tubuhnya.
Ki Rewok beristirahat di pinggir situ.
Dia minum air situ lahap sekali. Lalu bersandar di pohon besar seperti
biasanya. Angin semilir mengipasi badannya. Saking lelahnya Ki Rewok tertidur.
Biasanya tidak pernah dia seperti itu. Begitu bangun hari sudah sore. Matahari
hampir tenggelam di langit barat.
Ki Rewok terkejut. Segera dia beres-beres
dan pulang. Tapi dia berhenti sebentar karena di seberang situ melihat sesuatu
yang aneh. Di sebelah pohon berdaun seperti payung itu dia melihat seseorang
dengan perawakan tinggi besar. Tingginya hampir sama dengan pohon.
Di bawah pohon kayu besar itu dia
membungkuk. Ternyata dia mengambil air untuk berwudlu. Setelah beres bersuci,
orang itu pergi. Langkahnya lebar. Tiga langkah saja dia sudah menghilang.
Ki Rewok bersembunyi di balik sebuah
pohon. Ketika ingat hari sudah mulai gelap, cepat dia berbalik dan melangkah
pulang. Tapi sepanjang pulang Ki Rewok tidak bisa melupakan yang tadi
dilihatnya. Siapa orang yang tinggi besar itu, orang mana, apakah dia raksasa
penunggu hutan ini, kenapa mesti berwudlu di situ itu.
Sebab merasa penasaran, besoknya Ki
Rewok istirahat lagi di pinggir situ sampai sore. Pada waktu yang sama dengan
kemarin, Si Tinggi Besar itu memang datang lagi. Ki Rewok mendekati. Setelah Si
Tinggi Besar pergi, Ki Rewok menghampiri pohon besar itu. Ternyata di bawah pohon besar itu keluar
air yang sangat besar. Airnya sangat bening. Barangkali itulah sumber air
situ.
Karena kalau pulang pasti kemaleman
seperti kemarin, Ki Rewok pun berniat sholat Maghrib di situ. Dia berwudlu di
tempat Si Tinggi Besar tadi berwudlu. Begitu membasahi wajah, terasa kesegaran
merambah sekujur tubuhnya. Setelah berwudlu, Ki Rewok merasa dia ikut berjalan
dengan rombongan orang-orang berjubah putih. Lalu ikut sholat berjamaah.
Selesai sholat seluruh ma’mum saling
bersalaman. Sampailah Ki Rewok bersalaman dengan imam yang ternyata Si Tinggi
Besar itu. Dia menyambut Ki Rewok dengan tersenyum dan menyalaminya.
“Kamu ini yang dari pulau Jawa, ya?”
tanyanya dengan suara menggema, enak dan indah terdengarnya.
“Ya.”
“Yang pernah bertemu di pinggir situ?”
“Ya.”
“Saya juga suka berwudlu di situ itu.
Tapi sholatnya tetap saja di sini, di Mekah. Air situ itu bening dan
menyegarkan. Bagus buat apa saja.”
“Maaf, Bapak ini siapa?”
“Oh ya, kamu pasti belum tahu ya.
Orang-orang memanggil saya Hidir, Nabi Hidir.”
Tentu saja Ki Rewok terkejut. Begitu
sadar, Si Tinggi Besar dan ma’mum lainnya sudah tidak ada. Ki Rewok berada di
pinggir situ. Cepat dia pulang.
Sekali waktu musim kemarau sangat
panjang. Di kampung susah air. Setiap musim kemarau air memang bermasalah. Tapi
kemarau tahun ini sangat parah. Sawah dan kebun pun kekeringan. Ki Rewok
diam-diam membuat selokan dari situ. Begitu air sampai ke kampung, orang-orang
menyambutnya. Sejak itu tidak pernah terdengar lagi kekurangan air. Kebun,
sawah, kolam, teraliri dengan cukup meski musim kemarau.
Kampung kecil itu menjadi terkenal.
Kampung kecil itu selalu dihubungkan dengan situ sumber air bersihnya. Kampung
kecil itu lama-lama semakin bertambah penduduknya. Tanahnya subur, airnya
berlimpah, orang-orangnya ramah. Kampung dan situ itu kemudian dikenal dengan
nama Cibinong, karena mataair besar itu berada di bawah pohon besar yang
daunnya lebat, dahan-dahannya melingkar seperti payung. Binong itu artinya
payung.
Cibinong sekarang menjadi sebuah kecamatan yang ramai di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor ya di Cibinong pusatnya. @@@
Penulis : Yosep Rustandi, Foto : Wikipedia.org
Cibinong sekarang menjadi sebuah kecamatan yang ramai di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor ya di Cibinong pusatnya. @@@
Penulis : Yosep Rustandi, Foto : Wikipedia.org
0 Response to "Asal-usul Cibinong"
Posting Komentar