Cucu Karuhun


Cerita rakyat si kabayan

Musim hujan akan segera tiba. Para petani sudah bisa membacanya dari pertanda alam, ilmu perbintangan yang mereka kuasai secara turun temurun. Pak Mertua merasa yakin hujan akan segera turun setelah melihat rasi bintang wuluku di langit. Makanya dia mengajak Si Kabayan untuk segera ngahuma.
“Kabayan, besok mah kita nyacar tegalan. Sebentar lagi waktunya ngahuma,” kata Pak Mertua.
Mangga, Abah,” jawab Si Kabayan sambil mengangguk hormat.
Besok paginya Pak Mertua yang sudah siap membawa parang dan perkakas lainnya memanggil Si Kabayan dari halaman rumah.
“Kabayan, ayo sekarang kita berangkat!” teriaknya. “Mumpung matahari belum muncul. Jangan lupa bawa parang! Juga sabut kelapa dan kemenyan untuk berdo’a.”
Tapi ditunggu beberapa saat Si Kabayan tidak muncul juga. Pak Mertua naik ke golodog rumah Si Kabayan. Lalu diketuknya pintu.
“Kabayan, jangan terlalu siang berangkatnya!”
Tapi Si Kabayan yang masih berselimut sarung malah membekap telinganya dengan bantal. Dia pura-pura tidak mendengar.
Pak Mertua lalu berangkat sendiri karena jengkel. Tegalan yang penuh dengan alang-alang dan pepohonan itu dibabatnya. Siangnya Ambu dan Nyi Iteung datang nganteuran.
“Iteung, sedang apa Si Kabayan?” tanya Pak Mertua.
“Ada, Abah. Tadi waktu Iteung ke sini Kang Kabayan baru bangun.”
Nurustunjung eta jelema! Diajak nyacar mah mumul!”
Empat hari Pak Mertua nyacar tegalan, tidur di gubuk yang sengaja dibangun. Begitulah kebiasaan para petani, tidur di tegalan, berkumpul dengan petani lainnya, bila nyacar belum selesai. Hari kelima Pak Mertua pulang.
Si Kabayan sedang duduk-duduk di bale-bale sambil ngagere ceuli dengan bulu ayam ketika Pak Mertu sampai rumah. Dia tersenyum-senyum malu. Tapi Pak Mertua tidak mempedulikannya. Dia masih jengkel dengan kelakuan Si Kabayan.
Dua hari kemudian Pak Mertua datang lagi ke Si Kabayan. Bagaimanapun dia butuh tenaga menantunya itu.
“Kabayan, besok mah kita ke tegalan lagi. Sudah kering sepertinya rerumputan yang kemarin dicacar. Besok kita harus membakarnya,” kata Pak Mertua.
“Iya, Abah.”
“Iya, iya, tapi jangan seperti kemarin.”
“Tidak akan, Abah.”
Besoknya, betul saja Si Kabayan sudah siap ketika Pak Mertua keluar rumah. Sampai di tegalan, Pak Mertua mengumpulkan rerumputan dan pepohonan kering, Si Kabayan membakarnya. Matahari baru semburat merah di langit timur. Udara masih dingin. Rupanya Si Kabayan mau membakar rerumputan dan pepohonan kering karena ingin siduru.
“Kabayan, kata karuhun dulu, kalau ke tegalan tidak boleh siduru. Pamali. Nanti bekerjanya tidak selesai,” kata Pak Mertua.
Tapi Si Kabayan tidak menurut. Baru setelah matahari naik memberi kehangatan sidurunya berhententi. Menjelang siang Ambu dan Nyi Iteung datang nganteuran. Si Kabayan cepat membantu mengeluarkan nasi timbel dan lauk pauknya. Mulutnya tidak berhenti mengunyah opak.
Selesai makan, Si Kabayan diam-diam pulang sendiri. Pak Mertua kebingungan ketika mencari Si Kabayan untuk meneruskan pekerjaan. Akhirnya dia bekerja sendiri lagi, seperti waktu nyacar.
Sorenya Pak Mertua pulang. Si Kabayan sedang duduk-duduk di bale-bale, pura-pura tidak melihat dan pura-pura tidak ada persoalan. Besoknya Pak Mertua ngaseuk sendirian. Dia tidak lagi mengajak Si Kabayan karena jengkel. Begitu pun waktu ngoyos palawija.
Palawija Pak Mertua termasuk tumbuh dengan subur. Beberapa bandar berniat membelinya sebelum waktu panen tiba. Tapi Pak Mertua inginnya dipanen sendiri, dijual ditimbang saja. Waktu panen pun tiba. Pak Mertua mengajak Ambu, Nyi Iteung dan beberapa orang tetangga untuk membantu.
“Ambu, Abah sudah menangkap ikan di kolam tadi. Sekalin sembelih ayam. Besok kita hamin, syukuran sambil panen di tegalan. Jangan lupa juga sesajen buat karuhun,” kata Abah. “Biarin Si Kabayan mah jangan diajak. Tuman menantu seperti itu mah. Mau enaknya saja!”
Si Kabayan kebetulan mendengar apa yang dikatakan Pak Mertua. “Dasar, mertua pedit!” gumamnya. Semalaman Si Kabayan berpikir, bagaimana caranya agar Pak Mertua mengajaknya panen. Panen itu identik dengan makan-makan, syukuran, hamin.
Besoknya Si Kabayan bertanya kepada Nyi Iteung.
“Nyi, nama asli Abah itu siapa?” tanya Si Kabayan.
“Huss! Pamali Akang bertanya nama orang tua,” kata Nyi Iteung sambil tersenyum. “Memangnya untuk apa nama Abah?”
“Nanti kalau semuanya sudah pergi ke huma, bagaimana coba kalau ada yang mencari Abah?”
“Oh… kalau begitu, sini Akang mendekat, Iteung bisikin.”
Si Kebayan mendekatkan telinganya ke wajah Nyi Iteung. “Oh… itu ya,” kata Si Kabayan sambil mengangguk-angguk.
“Apa ah, berbisiknya juga belum,” kata Nyi Iteung. “Di bagian sini mah atuh jangan ngabodor, Kang.”
“Iya sok, siapa atuh?”
“Guto.”
Si Kabayan tertawa ditahan.
“Jangan mentertawakan nama orang tua, pamali.”
Tidak berapa lama kemudian Pak Mertua, Ambu, Nyi Iteung, dan beberapa tetangga yang mau membantu panen, pergi ke huma. Si Kabayan menelan ludahnya karena tahu di keranjang dan bakul yang dibawa ke huma itu ada ikan mas bumbu acar, bakakak ayam, putri noong, apem, cuhcur, nagasari, dan makanan yang manis lainnya.
Nyi Iteung dan tetangganya sebenarnya kasihan kepada Si Kabayan. Tapi Pak Mertua keukeuh dalam pendiriannya, Si Kabayan jangan diajak! Setelah semua yang pergi ke huma tidak kelihatan punggungnya, Si Kabayan masuk ke rumah mertuanya. Dia mencari tape ketan hitam yang kemarin dibuat Ambu. Tape itu dibawanya ke rumahnya, lalu diperas.
Menjelang sore Si Kabayan pergi menyusul ke huma. Dibawanya air ketan hitam  dan sebuah bantal berisi kapuk. Dia tahu, Ambu dan Nyi Iteung serta tetangganya akan pulang. Tapi Pak Mertua akan tidur di gubuk menunggui hasil panen. Ketika hari mulai gelap Si Kabayan membaluri seluruh tubuhnya dengan air ketan hitam. Lalu kapuk dari dalam bantal ditempel-tempel ke seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan rambutnya. Setelah seluruh badannya seperti berbulu putih, Si Kabayan naik ke pohon beringin dekat ciseke. Dia tahu sebentar lagi Pak Mertua akan mandi di ciseke itu.
Betul saja ketika menjelang gelap Pak Mertua datang ke ciseke. Handuk digantungkannya di bilik. Tapi sebelum dia mandi, terdengar suara berat memanggil namanya.
“Guutttooo… Guuttooo…!”
Pak Mertua terkejut mendengarnya. Begitu dilihatnya ada makhluk putih di atas pohon beringin, jantungnya berdegup kencang.
“Ke sini Guuttooo… jangan takut, Nak. Eyang mau bicaraa hak hak hak…!”
Pak Mertua menghampiri sambil menunduk. Antara takut dan ingin tahu siapa makhluk itu, bergejolak di dalam dadanya.
“Siapa Eyang ini, saya haturkan salam hormat,” kata Pak Mertua sambil mengangkat kedua tangannya seperti menyembah.
“Jangan takut Guuttooo… Eyang ini karuhun kalian. Eyang ini yang ngageugeuh tegalan ini. Eyang yang menjaga tegalan ini.”
“Sembah kapihatur Eyang dari anakmu. Apa sebenarnya kemauan Eyang sampai memanggil anakmu?”
“Hak hak hak… Guuttooo, Eyang sudah tidak ingin apapun. Eyang hanya titip pesan….”
“Pesan apa Eyang?”
“Hormati wakil karuhun kalian di tegalan ini dan di kampung kita. Dia itu Cucu Karuhun yang terpilih. Jangan perhitungan dengan dia….”
“Siapa Eyang?”
“Kaliaaann memanggilnya Siii Kaaabbayyaaann… Tapi para karuhun menyebutnya… Cucu Karuhun.”
Pak Mertua terkejut. Tapi dia masih tidak berani mengangkat wajahnya.
“Itu pesan Eyang. Ingat… Guuttoo… jangan marahi Cucu Karuhun. Harus baik kamu kepadanya. Kalau pesan ini dilanggar, kamu akan menerima akibattnyya Guuttooo… hak hak hak.”
Si Kabayan lalu bersembunyi di balik dahan beringin. Pak Mertua setelah merasa tidak ada lagi yang bicara, lalu mengangkat wajahnya. Makhluk serba putih itu sudah tidak ada lagi. Dia segera mandi dan kembali ke gubuk.
Si Kabayan segera pulang. Dia mandi di jamban kampung. Pulang ke rumah sudah larut malam. Nyi Iteung bertanya pun tidak dijawabnya. Dia langsung tidur karena kedinginan.
Besoknya Pak Mertua pulang dari huma sambil memikul padi dan palawija lainnya.
“Kabayan, Ujang, ke sini sebentar, Abah ingin bicara,” kata Pak Mertua kepada Si Kabayan.
“Iya Abah, ada apa?” tanya Si Kabayan.
“Kabayan, Ujang, kamu harus tahu, semua harta Abah itu adalah milik kamu juga. Jadi jangan sungkan kalau kamu menginginkan beras, kacang, jagung. Ambil saja di leuit. Kalau kamu ingin ikan, menjala saja sendiri di kolam. Kalau ingin ayam, tangkap saja di kandang.”
“Tentu Abah.”
“Hasil panen masih banyak di gubuk tegalan. Ayo, kita angkut sekarang. Sebagian simpan saja di rumahmu.”
“Tentu Abah.”
Kata dongeng, sejak itu Si Kabayan tidak lagi hidup susah. Sejak itu juga dia tidak lagi malas karena harus bekerja mengelola kekayaan mertuanya. @@@

Penulis: Yus R. Ismail  
Catatan:
Ngahuma = menanami tegalan dengan padi
Nyacar = membabat (biasanya rerumputan seperti alang-alang)
Golodog = pijakan di rumah panggung
Nganteuran = mengantar makanan bagi yang sedang bekerja di kebun atau sawa
Nurustunjung  = kata sumpah serapah
Jelema = manusia
Siduru = menghangatkan badan di api yang menyala
Opak = makanan sejenis kerupuk, terbuat dari beras ketan
Ngaseuk = menanam biji-bijian seperti jagung, kacang, padi, dsb.
Ngoyos = membersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar palawija
Pedit = kikir
Hamin = dari amiin, berdoa, lalu makan-makan makanan yang istimewa
Ngabodor = melawak
putri noong, apem, cuhcur, nagasari = kue-kue basah jaman dulu
Keukeuh = tetap, berkeras hati
Ciseke = mata air
Karuhun = nenek moyang
Ngageugeuh = menempati
Leuit = bangunan tempat menyimpan padi
Haturkan = persembahkan
Ujang = panggilan sayang kepada lelaki yang lebih muda

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cucu Karuhun"

Posting Komentar