Bango dan Anjing
Bango dan Anjing bersahabat sejak kecil. Kesana kemari selalu bersama. Mereka bermain di tepi rawa, di sekitar rumah mereka, atau menyusuri tepi hutan yang jauh, selalu bersama.
Sayangnya,
persahabatan mereka ada cacatnya. Bila sudah mengenai urusan makanan, mereka tidak
saling berbagi. Awalnya Bango sering melemparkan ikan kepada Anjing bila di
rawa yang kekeringan banyak ikannya. Tapi Anjing, setiap mendapat dendeng yang
dijemur manusia, tidak pernah memberi. Katanya, “Saya kan bila mendapat dendeng
cuma satu lembar, jadi susah membaginya.”
Bango awalnya
percaya kepada sahabatnya. Tapi sekali waktu Bango ingin merasakan diberi oleh
sahabatnya. Karena siapa pun bilang, bersahabat tidak saling memberi itu seperti
penyanyi tanpa musik. Tidak lengkap.
Maka suatu
hari Bango sengaja datang ke rumah Anjing pada saat jam sarapan pagi. Anjing
tentu saja terkejut. Tapi dengan ramah Anjing mempersilakan masuk. Setelah
ngobrol ke sana ke mari, Bango sepertinya tidak berniat segera pulang. Anjing
berkali-kali melihat ke dapur, karena perutnya berkali-kali berbunyi. Tadi
sebelum kedatangan sahabatnya, Anjing sebenarnya mau memasak. Dia mengerti,
Bango mungkin ingin disuguhi makanan. Tapi beras yang akan ditanak cuma sedikit.
Pikir Anjing, bagaimana caranya biar makanannya tidak terbagi dengan
sahabatnya?
Wajah Bango
berseri-seri saat Anjing pamit ke dapur untuk mempersiapkan bubur yang akan
menjadi sarapan pagi itu. Bango gembira bukan karena akan mendapat sarapan pagi
gratis. Tapi karena dia yakin, sahabatnya itu ternyata tidak kikir seperti yang
dituduhkan binatang lainnya.
Di dapur
Anjing menanak bubur. Bubur yang sudah matang disimpan di piring datar dan
lebar. Dia tersenyum. Dengan wadah seperti itu, Bango tentunya tidak akan bisa
makan. Paruhnya akan susah mematuk bubur di piring datar. Jadi bubur hanya akan
bisa dinikmati olehnya sendiri.
Bubur di atas
piring datar dan lebar itu lalu dibawa ke tengah rumah. Setelah mempersilakan
sahabatnya untuk makan bersama, Anjing lalu makan lahap sekali. Lidahnya lincah
menyedot bubur encer di atas piring datar.
“Ayo, kita
makan bersama, Kawan, jangan ragu-ragu,” kata Anjing sambil mendekatkan piring
datar ke Bango.
Bango malah
tersenyum getir. Pikirnya, bagaimana bisa dia makan bubur encer di piring datar
seperti itu? Masa Anjing tidak hapal, paruh saya kan panjang dan runcing, cara
makannya juga tentu berbeda. Wadah piring datar seperti itu pasti disengaja.
Sedih Bango sebenarnya. Sedih oleh kelakuan sahabatnya. Ternyata benar kata
binatang lainnya, Anjing itu kikir.
“Ah, kenapa
diam saja, Kawan? Jangan malu-malu makan di sini. Saya ini kan sahabatmu,” kata
Anjing lagi. “Kecuali kalau memang sudah sarapan sebelum ke sini, bubur ini
akan saya habiskan.”
Bango
mempersilakan Anjing untuk menghabiskan buburnya.
“Sayang sekali
ya, bubur senikmat ini tidak bisa dicicipi. Bumbu buburnya sangat lengkap. Lain
kali kalau mau bertamu ke sini, jangan sarapan dulu biar bisa makan bersama.”
Bango hanya
tersenyum getir mendengar omongan Anjing. Setelah selesai melihat Anjing
menghabiskan makanannya, Bango pamitan.
Musim kemarau
datang. Bagi Bango musim kemarau waktunya pesta. Banyak bagian rawa yang
kering. Banyak ikan gampang ditangkap. Sebaliknya buat Anjing, kemarau saatnya
susah mendapatkan makanan. Di rawa yang kekeringan banyaknya ikan-ikan kecil.
Ikan-ikan besarnya bersembunyi di lubang dan lumpur. Anjing tentu saja terpesona
melihat paruh Bango begitu lincah mematuk ikan-ikan kecil.
“Kawan, lemparkanlah
ke sini sebagian ikan itu. Dari tadi saya belum mendapatkan seekor pun,” kata
Anjing.
“Wah, tidak
bisa. Sekarang ini saya sedang sibuk mengumpulkan ikan, untuk pesta nanti.”
“Pesta? Pesta
apa?” Anjing penasaran.
“Pesta musim
kemarau. Datang saja besok kalau ingin menikmati ikan yang banyak,” kata Bango.
Anjing
gembira. “Kalau begitu, saya akan datang ke rumahmu besok,” katanya, lalu
pulang.
Besoknya
Anjing datang ke rumah Bango. Pikirnya, pasti ikan yang dikumpulkan Bango
banyak sekali. Bango memang sudah terkenal sebagai panangkap ikan yang lihai. Betul
saja, begitu Anjing datang, tuan rumah langsung membawa makanan ke tengah
rumah.
“Silakan
makan, karena datang ke sini pasti dengan perut yang kosong,” kata tuan rumah.
Setelah mempersilakan, Bango langsung memulai makan. Paruhnya sibuk mematuk
ikan-ikan kecil.
Anjing terpana
melihat sahabatnya makan. Karena dia sendiri tidak bisa makan. Ikan-ikan kecil
yang banyak itu oleh tuan rumah disimpan di dalam ruas-ruas bambu. Bagaimana
dia bisa makan di wadah seperti itu?
“Ayo, kita
makan bersama, Kawan, jangan ragu-ragu,” kata Bango. Anjing terperanjat. Dia
ingat, kalimat seperti itu yang diucapkannya ketika dia mempersilakan Bango
makan di piring datar. Pikirnya, Bango tentu saja membalas. Karenanya meski
perutnya berkerubuk, air liurnya menetes melihat sahabatnya sibuk mematuki
ikan, Anjing tidak bicara sepatah pun.
“Ah, kenapa
diam saja, Kawan? Jangan malu-malu makan di sini. Saya ini kan sahabatmu,” kata
Bango lagi. “Kecuali kalau memang sudah sarapan sebelum ke sini, ikan-ikan ini
akan saya habiskan.”
Anjing
terperanjat lagi. Kalimat itulah yang diucapkannya dulu. Anjing tersenyum
getir. Lapar dan malu. Tentu Bango tahu maksudnya dulu dia mewadahi bubur di
piring datar.
0 Response to "Bango dan Anjing"
Posting Komentar