Saudara Aneh


fabel

Ciak Satu anak ayam terkejut. Saudaranya, Ciak Dua, terperosok dan jatuh ke kolam. Ciak Satu lari ke sana ke mari sambil teriak-teriak.
“Tolloong...! Tolll...!” teriakannya tidak berlanjut.
Ya, bagaimana mau berlanjut, dia melihat Ciak Dua berenang begitu hebat. Dia malah bermain air.
“Ayo, turun ke sini Ciak Satu. Kita main air,” kata Ciak Dua.
Ciak Satu bengong melihatnya. Dia menggosok matanya, takut salah melihat. Tapi Ciak Dua malah menenggelamkan kepalanya ke dalam air sambil tertawa-tawa.
“Kamu benar-benar bisa berenang?” tanya Ciak Satu.
“Berenang kan gampang sekali. Tinggal gerakkan kaki, dan sedikit kibasan sayap, kita bisa main ke mana-mana.”
Ciak Satu mencari tempat landai. Lalu dia mencoba menempelkan kakinya ke permukaan air kolam. Tapi baru saja menempel, Ciak Satu cepat menarik lagi kakinya. Dingin dan perasaannya akan tenggelam. Jangankan bermain, ketakutan saja yang dirasakannya.
**

Ciak Satu dan Ciak Dua baru dua hari menetas di kandang ayam. Semuanya ada delapan telor yang menetas. Tapi mereka berdua yang paling nakal. Waktu saudara-saudaranya berebut tempat hangat di dalam tubuh Ibu Ayam, Ciak Dua menarik sayap Ciak Satu.
“Ke mana?” tanya Ciak Satu.
“Kita mencari cacing sendiri.”
“Memangnya kita bisa?”
“Bisa dong. Aku tahu tempatnya.”
Mereka pun menjauhi ibu dan saudara-saudarnya. Sampailah di tepi kolam. Terjadilah peristiwa yang membuat Ciak Satu ketakutan. Ciak Dua jatuh ke kolam. Begitulah awal kejadiannya.
Saat sedang menunggu saudaranya bermain di kolam, Ciak Satu melihat dua ekor mahluk berenang mendekati mereka.
“Ciak Dua, ayo kita pulang. Tuh, yang punya kolam datang. Kamu pasti dimarahi!” kata Ciak Satu.
Ciak Dua terkejut. Dia segera naik ke darat. Tapi baru saja naik, dua mahluk yang berenang cepat itu memanggilnya.
“Hai, tunggu dulu! Tunggu sebentar...!” kata yang berjambul.
Ciak Dua menunggu. Ciak Satu semakin ketakutan. “Ayo, kita pulang! Siapa tahu mereka jahat!” katanya.
“Kamu pandai sekali berenang, Nak. Tapi bila ingin lebih hebat, mari kita berlatih. Seperti ini, lihat nih...!” kata yang berjambul.
Dia lalu menyelam ke dalam air. Begitu tangkas bergerak di dalam air. Saat naik lagi ke atas, di paruhnya sudah terjepit seekor udang.
“Selain pandai berenang, juga bisa dapat udang atau ikan. Makanan lejat itu,” kata yang berpantat besar. “Ayo, terjun lagi. Kita belajar berenang.”
Ciak Dua sangat tertarik. Meski Ciak Satu melarangnya, Ciak Dua akhirnya meloncat lagi ke air. Dia lalu belajar menyelam sambil tertawa-tawa. Kemudian meloncat ke atas punggung kedua perenang hebat itu. Lalu berenang lebih ke tengah kolam.
“Tolloongng... Ciak Dua diculik!” teriak Ciak Satu sambil lari ke sana ke mari.
**

Ibu Ayam dan Ciak Tiga sampai Ciak Delapan akhirnya sampai ke tepi kolam. Mereka terkejut ketika melihat Ciak Dua sedang bermain di kolam dengan mahluk asing. Tapi Ciak Tiga, Ciak Empat dan Ciak Lima, merasa ingin ikut bermain. Mereka pun lalu meloncat ke kolam. Mereka tertawa-tawa sambil berenang. Ibu Ayam semakin terkejut.
“Petok-petok-petok...! Petok-petok-petok...!” teriaknya sambil berlari ke sana ke mari. Ciak Satu dan saudara-saudara lainnya ikut ramai berteriak-teriak.
Ibu Ayam baru diam saat anak-anaknya yang berenang naik ke darat. Dua bebek dewasa pun ikut naik.
“Maaf Ibu Ayam, jangan takut dan jangan marah,” kata bebek betina.
“Iya, saya terkejut dan merasa aneh. Ada apa ini sebenarnya?” kata Ibu Ayam.
“Begini Ibu Ayam. Sebenarnya empat ekor anakmu berasal dari telor kami. Makanya mereka pintar berenang, senang bermain di air, seperti kami.”
“Lho, kok bisa?”
“Bangsa bebek kan tidak bisa mengerami. Jaman dulu, kelangsungan hidup kami tergantung cuaca. Kami bertelur di atas daun-daun kering, di tumpukan dedaunan hangat, siapa tahu telor-telor kami bisa menetas,” kata bebek betina. “Kami bersyukur melihatmu pintar mengerami. Jadi kami diam-diam menitipkan telor-telor kami di sarangmu. Terima kasih telah menetaskan telor-telor kami.”
Ibu Ayam termenung. Dia mau menyangkal. Tapi dia memang tidak bisa berenang, takut dengan air. Dan keempat anaknya itu begitu gembira bermain di air, seperti bangsa bebek. Dia sebenarnya ingin menyangkal, tapi anak-anaknya pasti lebih gembira hidup bersama bangsa bebek. Karena mereka memang bebek.
Mereka pun berpisah di tepi kolam. Mereka berpelukan. Mereka bersedih. Mereka meneteskan air mata. Tapi hidup harus terus berlangsung. Mereka pun saling melambaikan sayap.
***
Penulis: Yosep Rustandi, foto: tribunnews.com


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saudara Aneh"

Posting Komentar