Penyesalan Sepasang Kijang

 Di gunung Ganggong sedang musim hujan. Hampir setiap hari hujan turun. Kadang disertai dengan angin kencang. Petir menyambar-nyambar. Tidak hanya dahan kering yang patah, dahan besar dan masih kuat pun bisa tumbang.

Suatu hari ada seekor harimau dan bayinya yang baru beberapa hari dilahirkan, berteduh di bawah pohon beringin yang besar dan rindang. Hujan tidak berhenti dari pagi. Angin bergemuruh menggoyangkan pepohonan. Petir sambung menyambung. Menggelegar.

Sudah begitu takdirnya, petir menyambar dahan beringin. Dahan besar itu tumbang. Harimau yang sedang berteduh tidak sempat bergerak. Dia hanya sempat memeluk anaknya, melindunginya dari dahan pohon yang tumbang. Sementara dirinya tertimpa pohon besar hingga mati seketika.

Tidak jauh dari sana ada sepasang kijang yang juga tercegat hujan. Ketika mendengar suara bayi harimau mengeong begitu menyayat, kedua kijang itu menghampiri. Ketika sampai ke bawah pohon beringin, kedua kijang itu terkejut. Kijang betina cepat merangkul bayi harimau itu, memeluknya erat sekali.

Bayi harimau itu diurus oleh sepasang kijang. Bayi harimau itu tumbuh sehat, besar, lucu dan pintar. Bulunya bersih, berkilat bila tersorot matahari. Anak harimau itu diurus tidak hanya dikasih makan, tapi juga disayangi seperti kepada anak sendiri. Tentu saja kelakuan harimau itu berbeda dengan harimau lainnya. Dia lebih suka bermain di padang rumput, menemani sepasang kijang yang menjadi orang tuanya. Kalau disuruh atau dilarang apapun, anak harimau itu menurut. Kedua orang tuanya semakin menyayanginya.

Kebahagiaan sepasang kijang itu bertambah ketika suatu hari kijang betina hamil. Setiap hari perutnya semakin membesar. Tidak lama kemudian lahir seekor anak kijang. Tentu saja anak kijang itu disayangi oleh semuanya. Termasuk oleh kakaknya yang berupa anak harimau. Kalau kedua orang tuanya sedang merumput, anak kijang itu diajak bermain oleh anak harimau. Keduanya bergembira.

Sekali waktu anak kijang itu terluka sedikit oleh taring kakaknya ketika sedang bermain. Kedua orang tuanya terkejut. Anak kijang itu segera dipangku dan diobati oleh getah daun pisang. Anak harimau menunduk dimarahi oleh kedua orang tuanya. Anak harimau itu berkali-kali meminta maaf karena luka itu tidak disengaja.

Sejak itu induk kijang tidak bisa mengenyahkan rasa khawatirnya. Apalagi ketika para tetangganya menegur.

“Tetap saja kalian harus waspada. Anak kalian yang paling besar itu wujudnya harimau. Meski masih anak-anak tetap saja harimau. Sementara harimau, adalah binatang yang mengancam kehidupan kita. Sudah tidak terhitung saudara kita yang mati diterkam harimau,” kata sapi mengungkapkan pendapatnya.

Suatu hari keluarga kijang harus menghadiri rapat seluruh binatang di hutan Ganggong. Sepasang kijang itu sebenarnya cemas harus meninggalkan kedua anaknya di rumah. Dengan berat hati mereka berangkat. Selesai rapat sepasang kijang itu berlari pulang. Mereka ingin segera melihat kedua anaknya baik-baik saja. Tapi rasa khawatir juga tetap mengikuti. Takut begini atau takut begitu.

Di tengah perjalanan, sepasang kijang itu hampir saja bertabrakan dengan anak harimau yang berlari. Ketika kijang betina melihat di kumis dan bulu seputar mulut anak harimau itu penuh darah, dia menjerit. Apa yang ditakutkan selama ini terjadi. Anak yang dilahirkannya diterkam oleh kakaknya.

Kijang jantan ketika melihat darah membasahi sekitar mulut anak harimau itu, marahnya tidak terbendung lagi. Pikirnya, diurus dan disayang sejak kecil, nyatanya pembunuh tetap pembunuh. Kijang jantan mundur, ditanduknya sekuat tenaga anak harimau yang masih mengatur napas kecapaian itu. Karena anak harimau tidak menduga, tentu saja tanduk kijang jantan yang runcing itu menembus dada anak harimau.

“Ampun Bapak, ampun. Bapak kenapa, sadar Bapak...,” rintih anak harimau. Tapi kijang jantan tidak mendengar. Diterjangnya anak harimau sampai berguling-guling. Tanduknya yang runcing melukai paha dan perut anak harimau itu. Sekujur tubuhnya bersimbah darah.

“Dasar jahat! Diurus sejak kecil, disayang-sayang, eh hasilnya malah berkhianat! Anak harimau, tetap saja seekor harimau! Tidak berbudi! Tidak tahu terima kasih!” bentak kijang jantan.

Anak harimau yang sedang lelah dan kesakitan itu terjatuh di hadapan kedua orang tuanya. Darah mengalir dari luka-lukanya. Airmatanya mengalir dari kedua sudut matanya. Kedua orang tuanya tidak memperhatikan karena mereka sedang dikuasai amarah.



Anak harimau itu digusur oleh kedua orang tuanya, lalu dilemparkan ke sungai. Setelah melemparkan anak harimau, sepasang kijang itu segera berlari. Ketika sampai ke rumahnya, setelah pintu ditubruk, keduanya terkejut. Anaknya tertidur di ayunan. Di atasnya menggantung ular sanca sebesar bambu. Darah menetes ke tanah. Sebagian membasahi kain yang dipakai ayunan. Ular sanca itu hampir putus kepalanya.

Setelah sadar apa yang telah terjadi, sepasang kijang itu saling memandang. Lalu mereka berlari secepat-cepatnya menuju sungai.

“Aduh, Anakku. Maafkan Bapak telah menyiksamu. Kamu yang benar. Kamu yang menyayangi. Bapak yang keterlaluan. Bapak yang jahat. Bapak yang tidak tahu berterima kasih. Bapak yang membalas kebaikanmu dengan kebusukan!” Kijang jantan itu merintih-rintih sepanjang jalan.

Sepasang kijang itu menyusuri sungai sampai ke jauhnya. Kalau mati anak harimau itu harus ketahuan bangkainya. Kalau bisa naik pastinya tidak akan bisa berjalan jauh. Tapi anak harimau itu seperti yang menghilang. Setiap hari selama sebulan sepasang kijang itu mencari anaknya.

Sejak itu sepasang kijang itu tidak bahagia hidupnya. Setiap ingat kepada anak angkatnya, mereka menangis. Setiap hari. Menangisi rasa sesal yang tidak hilang-hilang dari hati.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Penyesalan Sepasang Kijang"

Posting Komentar