Si Kabayan Sakit
Semalam hujan turun deras
dan lama. Baru menjelang subuh gerimisnya berhenti. Tentu saja pagi harinya
udara terasa dingin. Apalagi di kampung Dudidang yang terletak di pinggir
hutan, kabut pun turun menghalangi sinar matahari.
Tapi pagi itu Pak Mertua
sudah mengetuk rumah Si Kabayan.
“Ada apa, Bah, pagi-pagi
sudah siap?” tanya Nyi Iteung.
“Mana Si Kabayan?” Pak
Mertua malah balik bertanya.
“Masih tidur, Bah.
Apalagi semalam kan hujan turun sampai subuh.”
“Cepat bangunkan, kita
harus menjala ikan sekarang di sungai, biar tidak kalah cepat dengan yang
lain!”
Nyi Iteung cepat
membangunkan Si Kabayan. Si Kabayan keluar sambil menguap.
“Kabayan, cepat ganti
baju, kita harus menjala ikan sekarang!” kata Pak Mertua. “Kalau habis hujan
seperti semalam, suka banyak kolam yang pematangnya longsor. Ikannya tentu kabur
ke sungai. Cepat, biar tidak kalah cepat dengan orang lain!”
Tapi Si Kabayan malah
menguap lagi. Lalu sambil membetulkan sarung, dia tiduran lagi di bale-bale
rumah.
“Kabayan, malah tidur
lagi!” bentak Pak Mertua.
“Ikannya juga masih kedinginan,
Bah. Jadi masih pada ngumpet di dalam lubang.”
“Ah, dasar kamu mah
pemalas! Ada-ada saja alasannya!”
Pak Mertua lalu pergi
sendiri ke sungai. Betul saja, banyak ikan yang kabur dari kolam. Meski yang
menjala ada beberapa orang, tapi Pak Mertua mendapat ikan mas sebesar piring
saja tiga ekor. Belum lagi ikan-ikan kecil seperti bogo, mujair, beunteur,
genggehek, lele, dan ikan liar lainnya.
“Ambu, ini ikannya
dipepes saja. Jangan lupa memakai daun surawung
yang banyak, biar harum,” kata Pak Mertua. “Kalau ikan kecilnya mah terserah
mau diapakan juga.”
Pagi itu Ambu dibantu
oleh Nyi Iteung memasak pepes ikan mas. Menjelang siang pepes itu sudah matang.
Harumnya terbawa angin ke mana-mana. Si Kabayan yang baru bangun pun
menciumnya. Perutnya terasa berkerubuk. Si Kabayan segera ke sumur, mencuci
muka. Dan akhirnya duduk bersila di bale-bale depan rumah, menunggu diajak
untuk makan.
“Nyi Iteung, amparkeun samak, ini sambal,
lalap-lalapan, dan pepes ikannya bawa ke dalam rumah,” kata Ambu.
“Mangga, Ambu.”
Si Kabayan mendengar
percakapan itu. Dia tersenyum, sebentar lagi akan makan enak. Perutnya semakin
berkerubuk. Harum pepes ikan mas semakin melenghir.
Kemudian terdengar piring dibawa. Kemudian terdengar suara air dituang ke
gelas. Kemudian terdengar Pak Mertua minum air teh hangat. Kemudian terdengar
mereka makan.
“Kenapa saya tidak
diajak?” gumam Si Kabayan di dalam hati. “Wah, ini mah pasti disengaja tidak
ngajak-ngajak.”
Ya, Pak Mertua memang
sudah menyuruh Ambu dan Nyi Iteung untuk tidak mengajak Si Kabayan. “Si Kabayan
itu malas, harus dikasih pelajaran,” kata Pak Mertua. “Jangan ingin enaknya
saja Makan mau, tapi menjala ikannya tidak mau.”
Si Kabayan kemudian pergi
ke kebun. Dia memetik sebutir buah jeruk bali yang besar. Jeruk bali itu
dikupasnya. Kulitnya yang besar dan tebal ditempelkannya di sekeliling
kepalanya. Lalu diikatnya dengan kain sarungnya.
“Adduuuhhh…, Iteungng,
Nyaii, Ammbbuu, Abbaahh… aduh sakkiittt…!” kata Si Kabayan sambil tiduran di
tengah rumah. Suaranya sengaja diperkeras, biar terdengar oleh mertua dan
istrinya. Rumah mereka memang hampir menempel.
Nyi Iteung, Abah dan
Ambu, berhenti makannya begitu mendengar suara yang merintih-rintih. Setelah
yakin itu suara Si Kabayan, ketiganya lalu berlari ke rumah Si Kabayan. Tentu
saja mereka terkejut melihat Si Kabayan begitu mengkhawatirkan, apalagi melihat
kepalanya yang diikat sarung.
“Kanapa kamu teh, Kang?”
tanya Nyi Iteung sambil memeluk suaminya.
“Nggak tahu, Nyi,
tiba-tiba saja sakit kepala seperti ini.”
Nyi Iteung semakin
terkejut begitu memperhatikan kepala Si Kabayan yang membesar. “Ini kenapa,
Kang?” tanya Nyi Iteung
“Aww… jangan menyentuh
kepala, Nyi. Adduuhh, sakit sekali!”
Nyi Iteung menarik lagi
tangannya.
“Kabayan, kamu teh ingin
apa atuh?” tanya Pak Mertua.
“Ah, ingin sembuh saja,
Bah. Kalau sembuh kan pasti enak makan.”
“Oh iya, Bah. Sepertinya salatri, karena kan sejak pagi belum
dikasih makan,” kata Nyi Iteung.
“Bawa atuh nasi sama pepesnya ke sini. Kamu
harus makan ya, Kabayan?” kata Ambu.
“Kalau makannya disuapin
mah akan memaksakannya saja, Ambu.”
Nyi Iteung kemudian pergi
membawa nasi dan pepes ikan. Si Kabayan kemudian disuapi. Ikannya dicubit
kecil-kecil. Nasinya juga sedikit-sedikit, karen takut Si Kabayan tidak enak
makan.
“Nyi, angan ikit-ikit,
kannya besar aja, juga ambalnya biar nggak anyir,”
kata Si Kabayan menirukan orang sakit.
Nyi Iteung menyuapi nasi
yang agak besar. Si Kabayan memakannya lahap sekali. Nasi satu boboko hampir
habis, sambalnya bersih, dan pepes ikannya tinggal cucuk. Setelah makan
kekenyangan Si Kabayan duduk menyandar ke bilik. Dia bersendawa beberapa kali.
Saat mengambil lagi air teh hangat untuk minum, sarung pengikat kepalanya
tersangkut paku. Kulit jeruk bali yang menempel di sekeliling kepalanya
berjatuhan. Pak Mertua dan Ambu, juga Nyi Iteung, terpana melihatnya.
“Dasar wewelek, sudah nipu lagi! Masa orang
sakit makannya sebakul!”
Si Kabayan tersenyum.
“Kan sedang mamayu, Bah, jadi
makannya banyak,” katanya ringan.@@@
Catatan:
Surawung = kemangi
Amparkeun samak = gelar
tikar
Mangga = iya
Melenghir = harum
(makanan) yang tercium sampai jauh
Anyir (hanyir) = bau amis
Boboko = bakul, wadah
nasi dari anyaman bambu
Bilik = dinding rumah
dari anyaman bambu.
Mamayu = baru sembuh dari
sakit, makannya mulai banyak
Mah, atuh, = kata sambung
dalam bahasa Sunda yang menguatkan logat dan arti.
Wewelek = kata sumpah
serapah
0 Response to "Si Kabayan Sakit"
Posting Komentar