Dua Permintaan
Karena Si Kabayan setiap hari bermalas-malasan, Pak Mertua tidak mau lagi memberi apapun. Beras atau singkong sudah tidak bisa lagi minjam. Termasuk Nyi Iteung yang datang ke Ambu sambil mau menangis. Pulangnya Nyi Iteung hanya dapat nasihat.
“Iteung, sampaikan ke
suamimu, Si Kabayan yang malas itu, beras tidak akan datang begitu saja.
Bekerja! Harus bekerja dulu!” kata Ambu.
Nyi Iteung pun pulang
dengan bersedih. Melihat istrinya menangis, Si Kabayan pun tidak tega. Dia lalu
mengajak mencari umbi-umbian di tepi hutan. Tapi sampai sore mereka tidak
menemukan sebuah umbi sebesar kelereng pun. Apalagi kemudian hujan turun. Si
Kabayan dan Iteung berteduh di sebuah gua.
Gua itu gelap. Si Kabayan
kemudian membuat api unggun. Ketika sedang mencari kayu bakar di dalam gua, dia
menemukan sebuah botol. Botol itu tertanam di tanah. Hanya kepalanya sepanjang
dua sentimeter yang menonjol. Si Kabayan menggali botol itu. Karena bentuknya
bagus, botol itu dibawanya ke dekat api unggun.
“Iteung, ini botol bagus
sekali bentuknya. Siapa tahu ini bisa dijual,” kata Si Kabayan.
Iteung yang sejak tadi
diam karena kedinginan dan menahan lapar, melihat juga botol itu. “Iya Kang,
botolnya bagus. Coba buka, siapa tahu ada isinya yang bisa diminum,” katanya.
Si Kabayan membuka tutup
botol. Begitu lepas tutupnya, dari dalam botol itu keluar asap yang semakin
banyak. Si Kabayan dan Nyi Iteung tentu saja terkejut. Mereka mundur ke dinding
gua. Apalagi kemudian asap yang terus keluar dari botol itu bersatu, membentuk sebuah
wujud yang sangat besar, seperti raksasa.
“Hahaha… Huhuhu… Hihihi…
Hai manusia, perkenalkan… aku ini Jin Jun, putera mahkota di Negeri Jiniasia,
hahaha… huhuhu… hihihi… hohoho… hehehe…!” kata makhluk raksasa itu dengan suara
berat dan serak.
Si Kabayan dan Nyi Iteung
semakin merapat ke dinding gua. Mereka ketakutan. Mereka saling berpelukan.
“Hahaha… huhuhu… hihihi…
Hai manusia, jangngaannn takkyuuutt… aku mau berterima kasih kepada kalian. Aku
ini sudah dipenjara di dalam boto selama lima ratus dua tahun. Kalian yang
menolong aku. Coba sebutkan dua permintaan, aku akan mengabulkannya. Hahaha…
huhuhu… hihihi… hohoho… hehehe…!”
Si Kabayan dan Nyi Iteung
saling berpandangan. Mereka gembira. Tapi masih juga ada rasa takut.
“Hahaha… huhuhu… hihihi…
Hai manusia, silakan berunding dulu, brainstorming, bermupakat. Pintalah yang
paling penting buat kalian. Panggil saja aku: Jin Jun, lalu bilang permintaan
kalian. Aku akan jalan-jalan dulu, melihat-lihat pemandangan. Sudah lima ratus
dua tidak melihat pemandangan. Aku kangenn melihat laut, melihat pegunungan,
melihat danau… hahaha… huhuhu… hihihi… hohoho… hehehe…!”
Jin Jun kemudian menjadi
asap lagi dan terbang begitu cepat keluar gua. Tinggal Si Kabayan dan Nyi
Iteung yang masih tidak percaya dengan apa yang mereka alami.
“Kang. Kang Kabayan, mau
minta apa?” tanya Nyi Iteung.
Si Kabayan berpikir. “Baiknya
kita minta makanan saja ya, yang banyak dan enak-enak. Kita kan sedang lapar
sekarang,” katanya.
“Wah, makanan mah terlalu
murah. Minta rumah saja yang bertingkat, besar, agreng.”
“Rumah agreng mah
mengundang pencuri. Lagipula, membersihkannya kan cape.”
“Akang ini dasar
pemalas!”
Si Kabayan merasa tidak
enak juga dibilang pemalas. Ya, saat harusnya disanjung karena mendapat
keberuntungan, masih juga mendapat sebutan pemalas.
“Kamu ini tidak tahu
diri, Iteung! Akang yang menemukan botolnya juga!” bentak Si Kabayan sambil
melepaskan pegangan tangan Nyi Iteung.
“Iya, tapi jangan minta
yang murah-murah!”
“Makanan yang enak-enak
tidak murah. Lalu baju-baju yang bagus-bagus. Harganya mahal-mahal sekarang
baju dan makanan!”
“Maksudnya bukan yang
sepeti itu!” Nyi Iteung tidak kalah keras suaranya. “Mintalah uang satu koper!
Itu banyak!”
“Wah, uang banyak
mengundang rampok!”
“Dasar, bodoh! Ini
kesempatan!”
“Kamu yang bodoh!”
Si Kabayan dan Nyi Iteung
pun saling dorong. Lalu mereka saling menampar, saling mencubit, saling menendang.
Mereka berkelahi. Si Kabayan merasa sakit hati dilawan oleh istrinya. Dia
merasa yang menemukan botol, yang mesti memutuskan meminta apa. Nyi Iteung
merasa sayang kalau permintaan Si Kabayan terlalu sederhana. Ini kesempatan
yang tidak akan bisa diulang lagi. Jadi mereka tidak ada yang mau mengalah.
“Dasar, kamu istri tidak
tahu diri!” bentak Si Kabayan. “Jin Jun, jadikan saja Si Iteung ini seekor monyet!”
Detik itu juga Jin Jun
datang berupa asap, lalu mewujud makhluk raksasa. Detik itu juga Nyi Iteung
berubah jadi seekor monyet. Monyet yang besar. Monyet yang terkejut ketika
melihat badannya berbulu. Monyet yang kemudian mengejar-ngejar Si Kabayan karena
marah.
Si Kabayan tentu saja
ketakutan. Dia berlari takut digigit monyet. Ketika mau tertangkap, Si Kabayan
berteriak lagi: “Jin Jun, jadikan lagi monyet ini manusia!”
Detik itu juga monyet itu
berubah lagi jadi Nyi Iteung.
“Hahaha… huhuhu… hihihi…
Hai manusia, kalian sudah mengatakan dua permintaan. Sekarang aku mau pulang ke
Negeri Jiniasia. Hahaha… huhuhu… hihihi… hohoho… hehehe…!”
Jin Jun berubah lagi
menjadi asap, lalu terbang begitu cepat keluar gua. Hujan sudah berhenti. Api
unggun sudah hampir padam. Udara dingin
terasa lagi. Si Kabayan dan Nyi Iteung saling memandang. Lapar semakin melilit.
Lalu keduanya menangis berbarengan. Menangis sejadi-jadinya. @@@
Penulis: Yus R. Ismail, ilustrasi: buku Si Kabayan Return
Catatan:
Agreng = mewah
0 Response to "Dua Permintaan"
Posting Komentar