Cerita Rakyat Yogyakarta JOKO KENDIL DAN SI GUNDUL
Tersebutlah seorang janda tua
di sebuah kampung. Dia hidup sebatang kara. Suaminya sudah tiada. Saudara pun
tidak punya. Pekerjaannya mengumpulkan umbi-umbian di tepi hutan dan menjualnya
ke pasar. Atau kadang mengambil kayu bakar untuk dijual kepada orang kampung.
Selepas bekerja, janda tua itu
selalu berdo’a. Dia ingin dikaruniai seorang anak. Meski dia berpikir tidak
mungkin karena tidak bersuami dan sudah tua, tapi entah kenapa selalu berdo’a
begitu. Dia sangat percaya, Tuhan Maha Pemberi dan tidak ada yang tidak mungkin
baginya.
Suatu hari janda tua itu
kedatangan dua orang tamu. Tamu yang gagah dengan pakaian yang mewah itu
menitipkan sebuah kendil alias periuk. “Kami sangat berharap Ibu memelihara
kendil ini seperti kepada anak sendiri,” kata tamu itu. Lalu pamit dan
mengucapkan salam.
Janda tua itu belum sadar
betul apa yang terjadi. Dia hanya mengangguk dan menerima kendil itu. Setelah
dua orang tamu itu pergi, dari dalam kendil itu meloncat seorang anak. Anak
yang periang, sangat hormat, dan memanggilnya Mbok.
Janda tua itu tentu sangat
gembira. Dia tidak akan kesepian lagi. Dia sangat menyayangi anak itu. Walaupun
anak yang keluar dari kendil itu bentuk tubuhnya menyerupai kendil. Badannya
bulat, pendek, dan wajahnya kurang sedap dipandang.
Ke mana-mana anak itu selalu
mengikuti Mbok-nya. Orang-orang kampung, terutama anak-anak, awalnya hanya
melihat anak bulat seperti kendil alias periuk itu. Tapi kemudian mereka
tersenyum dan tertawa. Keluarlah kata-kata hinaan dari mulut mereka.
“Haha... ada orang seperti
kendil. Hai, Joko Kendil, kamu rupanya habis keinjak gajah ya,” kata seorang
anak. Hinaan seperti itu terus berlanjut dari mulut lainnya, dari kampung ke
kampung.
Si Mbok khawatir dan kasihan
dengan anaknya. Tapi Joko Kendil sendiri malah tenang-tenang saja. Dia selalu
membalas hinaan itu dengan tersenyum. “Tidak apa-apa mereka menghina seperti
itu, Mbok. Saya memang seperti kendil. Joko Kendil, nama yang bagus. Dan yang
terpenting, kita tidak menghina dan menyakiti siapapun,” kata Joko Kendil. Dia
malah senang membantu orang-orang kampung.
Si Mbok tenang hatinya
sekarang. Dia bersyukur anaknya itu berhati mulia. Joko Kendil juga senang
bekerja. Segala pekerjaan si Mbok dibantunya. Mencari umbi-umbian di tepi
hutan, menjualnya ke pasar. Malah sebagian umbi-umbian itu ditanamnya di
sekitar rumah. Biar bila musim kemarau tidak susah mencarinya.
Suatu hari ke kampung itu ada
orang pindah. Warga baru itu mempunyai seorang anak. Berbeda dengan Joko Kendil
yang pendek dan bulat, anak itu tinggi kurus dan kepalanya tidak berambut alias
gundul. Anak itu pun segera menjadi bahan ejekan anak-anak kampung. Mereka
mengejek anak itu dengan memanggilnya Si Gundul.
Si Gundul bersedih dan murung.
Tapi Joko Kendil kemudian menghampirinya. “Jangan bersedih karena dihina. Para
penghina itu sebenarnya sedang merendahkan dirinya sendiri. Tidak membalas
hinaan dengan hal serupa, malah kita membalasnya dengan kebaikan, kitu sudah
menang untuk banyak hal,” kata Joko Kendil.
Si Gundul senang mendengarnya.
Mereka pun bersahabat. Si Gundul ternyata pandai membuat dan menerbangkan
layang-layang. Mereka bermain berdua. Orang-orang kampung sebenarnya mengagumi
layang-layang buatan Si Gundul. Tapi mereka tidak mau bermain bersama. Ya,
karena mereka merasa Si Gundul dan Joko Kendil adalah orang-orang berderajat rendah.
Selain membuat layang-layang,
Si Gundul pun pintar memanah. Joko Kendil diajarkan sampai dia pintar memanah. Sambil
belajar memanah, Joko Kendil pun banyak bercerita tentang kebaikan hati. Mereka
saling mengagumi. Persahabatan mereka pun semakin erat.
Bertahun-tahun kemudian. Setelah
mereka remaja, Joko Kendil mendengar kabar Raja di Kerajaan tempat mereka
tinggal sedang mencari calon suami bagi tiga orang puterinya. Ketiga puteri itu
sangat terkenal akan kecantikannya. Joko Kendil pun mengutarakan maksudnya
ingin melamar salah seorang puteri itu. Si Mbok terkejut mendengarnya.
“Joko Kendil ingin segera
menikah, Mbok. Percaya saja, Mbok percaya. Ini bukan sesuatu yang mustahil. Mbok
hanya mengantar dan merestui saja, biar Joko Kendil yang bicara,” kata Joko
Kendil.
Karena sayangnya, si Mbok
akhirnya mengangguk. Tapi orang-orang kampung yang mendengar kabar itu, tertawa
terpingkal-pingkal sambil mengejek dan mendoakan jelek.
“Joko Kendil melamar Puteri
Raja? Hahaha... tidak tahu diri! Benar-benar orang rendah! Jangankan diterima,
malah dia akan dihukum pancung karena menghina Raja!” Begitu diantaranya
kata-kata hinaan itu.
Hanya Si Gundul yang mendukung
niat Joko Kendil. “Aku percaya, kamu sudah menghitung segalanya. Kebaikan hati,
kejujuran, ketulusan, adalah modalmu yang luar biasa. Jauh lebih berharga
daripada wajah setampan apapun. Berangkatlah, Joko Kendil, saudaraku, sahabatku.
Aku akan mendo’akanmu agar apa yang kamu cita-citakan terlaksana. Aku hanya
mempunyai ini sebagai hadiah dan teman di perjalananmu,” kata Si Gundul sambil
memeluk dan memberikan busur panah.
Joko Kendil dan Mbok-nya pun
berangkat ke kotaraja. Orang-orang mencibir dan menertawakan saat melihat
postur tubuh Joko Kendil. Tentu mereka tidak percaya bila tahu niat Joko Kendil
melamar Puteri Raja. Gulang-gulang yang menjaga gerbang juga tersenyum mengejek
saat Joko Kendil mengatakan niatnya. Tapi dia mengantar juga Joko Kendil dan
Mbok-nya menghadap Raja.
Raja yang bijaksana tentu saja
tidak bisa langsung menolak meski beliau pun merasa tidak cocok saat melihat
Joko Kendil. Raja kemudian memanggil ketiga puterinya. Puteri pertama dan kedua
langsung menolak lamaran itu. Tapi puteri ketiga menatap Joko Kendil begitu
lekat. Dia melihat sesuatu yang bercahaya dan indah di tubuh Joko Kendil.
Puteri bungsu yang cantik jelita itu akhirnya menerima lamaran Joko Kendil.
Rakyat di berbagai pelosok
kerajaan gempar ketika tahu lamaran Joko Kendil diterima Puteri Raja. Pesta pun
diadakan berhari-hari. Meski Joko Kendil sangat mencintai Puteri, dan juga
sebaliknya, tapi Puteri ketiga itu suka tidak enak hati bila kedua kakaknya
sudah menertawakan dan mengejek suaminya.
Puncak dari ejekan kedua kakak
puteri ketiga itu terjadi saat kerajaan menyelenggarakan adu ketangkasan
memanah. Ada seorang Pangeran Tampan yang sangat pandai memanah. Setiap anak
panah yang dilepaskan busurnya selalu tepat sasaran. Puteri pertama dan kedua sangat
menginginkan Pangeran Tampan itu jadi pasangannya.
“Ini baru calon suami. Tidak
seperti Joko Kendil yang bulat-pendek seperti... hihi. Seperti... kendil.
Pantas namanya Joko Kendil. Pendek-bulat dan buruk rupa!” kata puteri pertama
dan kedua.
Puteri ketiga akhirnya tidak
kuat menahan ejekan seperti itu. Dia segera pergi sambil menahan tangis. Dia ke
kamarnya ingin menumpahkan segala kesal dan tangisnya. Tapi saat sampai ke
kamarnya, dia melihat sebuah kendil di samping tempat tidurnya. Marah karena
suaminya diejek seperti kendil, kendil itu pun diangkat dan dijatuhkannya
sampai hancur berkeping-keping.
Saat itulah kemudian Pangeran
Tampan datang ke kamar. Puteri ketiga terkejut.
“Siapa kamu? Pergi dari sini!”
bentaknya.
“Jangan marah, Puteri. Saya
adalah Joko Kendil. Tubuh asli saya memang seperti ini. Selama ini saya sedang
mendapat hukuman dari Ayahanda. Tapi saya tidak bisa lagi berubah seperti Joko
Kendil, karena kendilnya juga sudah engkau hancurkan,” kata Pangeran Tampan.
Puteri ketiga sangat gembira. Dia
memang tidak salah melihat. Joko Kendil memang memancarkan cahaya indah yang
jauh lebih indah daripada wajah tampan. Puteri pun segera menghadap Raja untuk
menceritakan apa yang terjadi.
Joko Kendil yang sudah berubah
jadi Pangeran Tampan tidak lupa kepada sahabatnya, yaitu Si Gundul. Dia bersama
Puteri istrinya menemui Si Gundul ke kampungnya. Si Gundul terkejut dan tidak
percaya. Tapi setelah Pangeran Tampan memperlihatkan busur panah hadiah
darinya, Si Gundul akhirnya memeluk Pangeran Tampan.
Si Gundul pun kemudian diajak
ke istana kerajaan. Si Gundul dipercayakan untuk melatih memanah para prajurit
kerajaan. Persahabatan mereka pun langgeng. Saling menghargai, menghormati,
mempercayai, dan mendukung. @@@
Hikmah: Kebaikan hati,
kejujuran, keikhlasan, jauh lebih berharga dibanding wajah setampan apapun.
Catatan: Joko Kendil dan Si Gundul ini sepertinya
merupakan versi lain dari cerita rakyat Joko Kendil (Jawa Tengah). Joko Kendil
dari Jawa Tengah tanpa Si Gundul. Ceritanya hampir sama saja, karena Yogyakarta
juga memang “masih Jawa Tengah” juga. Saya lebih suka dengan Joko Kendil dan Si
Gundul ini. Hanya saja, banyak pencerita yang memulai dengan: “di sebuah
kampung ada anak bernama Joko Kendil”. Sementara “janda tua yang menginginkan
anak dan ada dua orang tamu menitipkan kendil” adanya di versi Jawa Tengah.
Saya mengambil pembuka itu, karena akan terasa “benang merahnya” saat adegan
Puteri Ketiga memecahkan kendil dan Pangeran Tampan mengaku Joko Kendil. Semoga
dalam waktu dekat saya bisa menceritakan Joko Kendil yang versi Jawa Tengah
itu.
0 Response to "Cerita Rakyat Yogyakarta JOKO KENDIL DAN SI GUNDUL"
Posting Komentar