Hakim Kabayan



cerita rakyat si kabayan jadi hakim

Suatu malam ada empat orang pemuda sedang berdebat di pos ronda. Di hadapan mereka ada sebuah bakakak ayam. Malam minggu itu mereka membuat nasi liwet. Sebagai lauk-pauknya adalah bakakak ayam. Tapi setelah bakakak itu matang, mereka berebut untuk mendapatkan pahanya. Jadi bakakak ayam itu belum juga dipotong-potong.
“Kalau begitu kita harus mencari penengah yang adil,” kata Cecep.
“Mencari orang saja susah malam-malam begini,” kata Yana. “Ini sudah pukul 9 malam, gerimis lagi.”
“Iya, jadi mending kita kembali kepada pilihan semula,” kata Iwan. “Yang tadi menangkap ayam dan menyembelihnya, itu yang memilih pertama. Yang menanak nasi liwet, itu yang memilih kedua. Yang menyiapkan daun pisang dan tempat makan, itu yang memilih ketiga.”
“Wah, itu tidak adil,” kata Dayat yang berarti menjadi pemilih keempat. “Kita harus melihatnya dari status sosial. Saya sudah menikah, jadi menjadi pemilih pertama. Pemilih kedua adalah yang sudah bekerja. Pemilih ketiga dan keempat adalah yang masih sekolah.”
Perdebatan pun sepertinya tidak akan selesai. Saat itu kebetulan Si Kabayan lewat. Tadi sore dia ketiduran di gubuk sawah. Begitu bangun, hari sudah gelap. Tentu saja Si Kabayan terkejut. Dingin, dan juga takut. Si Kabayan kemudian berlari pulang. Saat itulah dia lewat di depan pos ronda.
“Nah, itu yang akan menjadi hakim kita,” kata Iwan. “Hey, Pak, ke sini dulu, Pak.”
Si Kabayan awalnya terkejut ada yang memanggil malam-malam. Tapi setelah tahu di pos ronda banyak orang, dia segera menghampiri.
“Wah, Si Kabayan ternyata,” gumam Cecep. “Mana bisa dia membagi secara adil. Orang tidak sekolah.”
“Tapi sudah tanggung. Kita sendiri kan tidak bisa menyelesaikannya,” bisik Iwan.
Si Kabayan duduk di antara empat pemuda yang sedang berdebat itu. “Ada apa?” tanya Si Kabayan sambil melirik bakakak ayam.
“Begini Kabayan,” kata Cecep yang kemudian menerangkan persoalannya. “Bisa tidak membaginya secara adil?”
“Gampang. Kalian ini kan para pemuda, jadi Kabayan ini akan membaginya sesuai dengan masa depan pemuda,” kata Si Kabayan.
“Ya, silakan bagilah secara adil.”
Si Kabayan lalu mengambil bakakak ayam dan pisau.
“Dayat ini baru saja menikah. Dia akan belajar jadi kepala rumah tangga. Jadi bagian yang paling adil buatnya adalah kepala ayam. Ini sebagai do’a juga agar Dayat jadi kepala rumah tangga yang baik,” kata Si Kabayan sambil memotong kepala ayam dan diserahkan kepada Dayat.
“Yana adalah karyawan di kantor desa. Dia menjadi kaki pak kades, harus siap melaksanakan perintah pak kades. Jadi bagian yang cocok untuk Yana adalah sepasang kaki ayam,” kata Si Kabayan sambil memotong kaki ayam dan menyerahkannya kepada Yana.
“Sementara Cecep dan Iwan masih sekolah. Artinya sekolah itu mempunyai harapan untuk lebih maju, lebih tinggi sesuai cita-cita. Cecep dan Iwan harus terbang ke negeri-negeri yang jauh dalam rangka mencari ilmu. Jadi bagian yang cocok untuk Cecep dan Iwan adalah sayap ayam ini,” kata Si Kabayan sambil memotong kedua sayap ayam dan memberikannya kepada Cecep dan Iwan.
“Lalu badannya?” kata keempat pemuda itu serempak.
“Tinggallah badan ayam, menggelinding ke sana ke mari, persis orang bodoh yang tidak punya tujuan dan harapan. Kabayan inilah orang yang bodoh,” kata Si Kabayan sambil mengambil badan ayam dan segera pulang.
Keempat pemuda itu saling memandang tidak mengerti.  @@@
Penulis: Yus R. Ismail, ilustrasi: buku Si Kabayan Return  
Catatan:
Bakakak = ayam bakar yang utuh seekor


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hakim Kabayan"

Posting Komentar