Si Kabayan di Pesantren
Sewaktu masih remaja, Si
Kabayan pernah belajar di pesantren. Pesantren jaman dulu termasuk tradisional
dalam pengelolaannya. Setiap santri tidak diharuskan membayar kepada kiai. Tapi
orang tua santri selalu menitipkan oleh-oleh buat kiai bila anaknya pulang. Dan
para santri itu biasanya sebulan sekali pulang untuk membawa bekal.
Bagi santri yang tidak pulang
membawa bekal biasanya mencari makanan seadanya. Beras mereka membawa bekal
banyak. Tapi luk-pauknya mencari sendiri. Ada yang mencari lalap-lalapan. Ada
yang memancing ikan atau belut di sawah. Bila tidak sempat mencari ikan, para
santri pun tidak masalah makan nasi hanya dengan sambal goang.
Si Kabayan juga ketika
belajar di pesantren beberapa kali tidak pulang untuk mengambil bekal. Ketika
bekal lauk-pauk dan uang sudah habis, Si Kabayan suka mencari ikan atau belut di
sawah atau sungai.
Suatu hari Si Kabayan ngurek di sawah. Kebetulan dia
mendapatkan seekor belut sebesar ibu jari kaki. Belut itu dipotongnya menjadi
empat bagian. Lalu disimpan di dalam rantang di lemarinya.
Di pesantren tradisional
biasanya kalau makan suka bersama-sama. Nasi liwet dibuat di kastrol. Semua
nasi liwet itu ditumpahkan ke dalam nyiru
yang sudah dialasi daun pisang. Sementara lauk-pauknya membawa masing-masing.
Tentu saja karena lauk-pauknya disimpan di nyiru juga, jadinya tukeran saling
merasakan.
Waktu itu pun teman-teman
Si Kabayan membuat nasi liwet. Si Kabayan tiduran di kasur tipisnya. Ketika
nasi liwet sudah matang, sudah ditumpahkan ke dalam nyiru, semuanya makan.
Biasanya satu nyiru dipakai oleh lima atau enam orang santri. Tapi Si Kabayan
ketika diajak malah merintih.
“Adduuhh, kepala saya
sakit. Makan duluan saja,” kata Si Kabayan.
Teman-temannya lalu
makan. Mereka tidak tahu bahwa Si Kabayan sebenarnya pura-pura. Dia hanya tidak
mau makan bersama-sama. Sayang bila belutnya dikeluarkan dan dimakan
bersama-sama. Si Kabayan tidak mau berbagi. Belut sebesar ibu jari kaki adalah
makanan istimewa.
Selesai makan
teman-temannya masih berbincang sebentar. Tapi kemudian mereka pada keluar
kobong. Setelah kobong kosong, Si Kabayan baru bangun. Nasi liwet masih tersisa
di nyiru. Diambilnya belut di dalam
rantang. Sayang bara di tungku sudah padam. Di dalam tungku yang ada malah
kucing yang sedang tiduran.
“Huss…! Huss…!” kata Si
Kabayan mengusir kucing.
Setelah kucing pergi Si
Kabayan mencari kayu bakar. Tapi bila kayu untuk membakar belut tentu lama. Si
Kabayan pun lebih memilih sabut kelapa. Sabut kelapa itu dibakar. Api cepat
membesar. Empat potong belut itu dimasukkan ke dalam api. Harum ikan bakar
kemudian meruap. Si Kabayan mengipasi biar belut cepat matang. Dia tidak mau
bau ikan bakar memancing perhatian teman-temannya.
Karena membakar yang
dipercepat dan karena di sabut kelapa, empat potong belut itu pun gosong luarnya.
Si Kabayan mengambil belut yang dibakarnya dan disimpan di piring. Satu… dua…
tiga… empat… lho, kenapa ada lima? Pikir Si Kabayan sambil tersenyum, mungkin
teman-temannya yang tadi membakar ikan asin ada yang ketinggalan.
Si Kabayan pun makan
dengan lahap. Belut sebesar ibu jari kaki itu luarnya sedikit gosong, tapi
begitu dimakan dengan sambal goang, alangkah nikmatnya. Tiga potong belut sudah
habis. Nasi di nyiru tinggal beberapa
suap lagi. Si Kabayan sudah kenyang. Beberapa kali dia teurab. Tapi kalau tidak dihabiskan, belut itu pasti ada yang
meminta.
Diambilnya lagi potongan
belut keempat, dicomotnya lagi nasi, dibersihkannya sambal di cobek. Habis
belut keempat, diambilnya lagi potongan terakhir. Nasi terakhir dicomot, sambal
semakin dibersihkan, dan potongan belut dimasukkan semuanya. Beberapa detik
kemudian….
“Oekh…! Oekh…! Oekh…!” Si
Kabayan lari keluar kobong sambil memuntahkan yang ada di mulutnya. Di luar Si
Kabayan masih oekh oekh oekh. Isi perutnya sekarang malah tumpah. Airmatanya
keluar saking mualnya.
Teman-temannya yang
sedang berkumpul di depan madrasah berlarian menghampir.
“Kenapa Kabayan? Kenapa?”
tanya mereka.
Si Kabayan tidak
menjawab. Di dalam hatinya dia memarahi kucing yang berak sembarangan. Sejak
itu Si Kabayan bila punya makanan selalu ingat dengan orang lain. Sayangnya, Si
Kabayan jarang mempunyai makanan berlebih. @@@
Catatan:
Sambal goang = sambal
yang hanya terdiri dari cabe dan garam, atau ditambah daun kemangi
Ngurek = memancing belut
Nyiru = Tempat menjemur
sesuatu yang terbuat dari anyaman bambu, bentuknya bulat.
Teurab = sendawa
0 Response to "Si Kabayan di Pesantren"
Posting Komentar